Rabu, 01 September 2021

Harta Bukan Segala-galanya, Harta Juga Tak Bisa Membeli Bahagia










Istilah modern ini uang adalah raja. kita sering merasakan betapa hidup kita didominasi oleh uang dan harta-benda. Betapa nafsu materialistik mendorong kita untuk terus mengejar benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan hidup dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara meraih kebahagiaan hidup kita.

Akibatnya, banyak di antara kita -manusia-manusia modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar- tidak lagi hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat disebut sebagai "zombie". Zombie adalah manusia yang sebetulnya sudah mati, tapi dapat bergerak ke segala penjuru, namun tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik mengejar uang, untuk membeli benda-benda, bergegas pergi ke sana ke mari, lupa waktu, lupa keluarga dan manusia lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang tujuan kita mengejarnya. Padahal, kita tahu, esensi kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita. 

Kesadaran bahwa kita diciptakan Allah Swt di muka bumi ini bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan yang serius; beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin silaturrahim –hubungan penuh kasih-sayang-, beramal saleh kepada orang lain sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar lebih baik.

Sayangnya yang terjadi adalah sebaiknya. Lewat berbagai media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita diiming-imingi dengan kebutuhan-kebutuhan artifisial. Yakni ”kebutuhan” yang sebenarnya tak memiliki fungsi untuk menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu, sebelum datang dan berkuasanya modernisme dan era industri, orang bekerja untuk tujuan yang jelas; meraih kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan uang dipahami sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri. Dengan cara itu, sesungguhnya, pada masa-masa terdahulu manusia lebih hidup ‘sebagai manusia’. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang luar biasa pesat di masa-masa sekarang ini, manusia masa lampau tampak lebih terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga perspektifnya dalam bekerja dan berusaha. 

Dengan kata lain, mereka lebih terampil dalam berupaya mencapai kebahagiaan ketimbang manusia-manusia sekarang. Sekarang, banyak di antara kita yang justru mengorbankan kebahagiaan demi mengejar uang. Tidak jelas lagi perbedaan antara ‘tujuan’ dan ‘sarana’ hidup. Sebagai bukti, tak jarang kita melihat seseorang justru mengalami kehampaan makna hidup setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang yang berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna hidup.

Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang dengan tepat?

Pertama, Agama tidak anti kepada orang yang mencari uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia Allah Swt. Bahkan dalam Al-Quran disebutkan, “Carilah kebahagiaan hidup di akhirat itu dengan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan lupakan porsimu dari kehidupan dunia.” (QS. Al-Qashash: 77). Yang penting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi, adalah sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif yang lurus seperti ini, tak ada orang yang mau mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya mendapatkan kebahagiaan hidup.

Kedua, Kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa tugas hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan menebarkan rahmat bagi alam semesta. Bahkan, sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan dan kepuasan hidup tak akan pernah bisa diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta benda yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita menyelenggarakan upaya-upaya seperti ini.

Ketiga, Kita perlu membangun dan memelihara kesadaran bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada banyaknya uang dan harta benda, melainkan pada bagaimana kita memandang fungsi dan cara menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan untuk hal-hal yang halal dan baik, menghindarkan diri dari gaya hidup berlebihan, serta menggunakan kelebihan rizki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang lain. Hanya dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan, termasuk kebahagiaan di dunia ini, dan pada saat kita dibangkitkan kelak.

Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles dalam mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh musuh dalam peperangan, ia bergerak sendiri dan menusuk pemiliknya. Jangan sampai uang, yang seharusnya membantu kita dalam mendapatkan kebahgiaan, malah menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan orang lain, merusak kedamaian keluarga, memutuskan silaturrahim, dan berbagai ekses merusak lainnya. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah