Rabu, 08 September 2021

Cinta dan Kasih Sayang Sebagai Sumber Kebahagiaan


 Cinta dan kasih sayang identik dengan do­rongan untuk selalu memberi, bukan menun­tut. Mencintai adalah sebuah prinsip menem­patkan kebutuhan dan kepentingan kita di ba­wah (atau setelah) kebutuhan dan kepenting­an orang yang kita cintai. Bahkan, karena cin­ta, kita rela mengesampingkan kebutuhan dan ke­pentingan kita demi terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai.  Inilah filosofi dasar cinta dan kasih sayang. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

”Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang berbahagia.” (Al Hasyr: 9)

Sebaliknya,

”Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah, sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa (silaturrahim, hubungan kasih-sayang) yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang sengsara.” (Al-Baqarah: 27)

Nabi Saw bersabda: “Jika Allah mencintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia akan berkata kepada Jibril, ‘Wahai Jibril, Aku mencintai hamba ini, maka kau pun cintailah dia.’ Maka Jibril mencintainya, dan menyeru para malaikat selainnya, ‘Allah Swt. mencintai orang ini, maka hendaknya kalian mencintai­nya juga.’ Maka, para malaikat itu mencintai­nya dan dia pun diterima oleh semua orang di du­nia.” Kiranya hadis ini sejalan dengan hadis lain yang di dalamnya dengan lugas Nabi Saw bersabda: ”Barangsiapa tidak mencintai, dia tak akan dicintai.”

Suatu kali, sahabat Nabi mendengar Nabi ber­kata: “Orang-orang yang saling mencinta kare­na mengakui Kebesaran-Nya, hidupnya akan penuh cahaya, sehingga bahkan para nabi dan syuhada iri kepadanya.” Memang, “tak akan ma­suk surga..., kecuali kalian saling mencin­ta,” begitu dinasihatkannya.

Tidak berlebihan kiranya jika kita pahami makna hadis di atas bahwa surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang saling mencintai itu bahkan sudah bisa kita raih ketika kita masih hidup di dunia ini. Betapa tidak? Dengan mudah bisa kita pahami bahwa kebahagiaan sangat ditentukan oleh perasaan disayangi. Perasaan seperti ini selalu menghangatkan jiwa kita, dan mendatangkan suasana psikologis yang menenteramkan. Tapi, bukan hanya itu. Kehadiran orang-orang yang mencintai kita di sekeliling kita sekaligus bisa menjadi sumber dukungan bagi kita ketika kita mengalami kesulitan-kesulitan hidup.

Secara lebih dalam, kita dapat memahami bahwa dorongan untuk mencinta dan dicintai sesungguhnya berakar kuat di dalam diri kita. Manusia adalah makhluk dengan fitrah mencinta dan dicintai. Mengenai ini al-Qur’an menyaakan:

”Hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama. Fitrah Allah yang atasnya kamu diciptakan ...” (QS. Ar-Ruum: 30). Nah, sebagai makhluk yang memendam fitrah ketuhanan, kita pun membawa di dalam diri kita sifat-utama ketuhanan, yaitu cinta. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Tuhan adalah Cinta. Pada kenyataannya, Tuhan menciptakan alam ini karena kerinduannya meluapkan cintanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi:

”Aku 'sebelum'-nya adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Maka Aku rindu (ahbabtu, aku cinta) untuk dikenali. Maka aku ciptakan ciptaan agar aku dikenali.”

Nah, hanya dengan meluapkan kasih-sayang, dan dengan itu mendapatkan kasih-sayang sebagai imbalannya sajalah, manusia bisa memenuhi fitrahnya. Dan hanya manusia-manusia yang hidup sejalan dengan fitrahnya sajalah yang akan dapat meraih ketentraman dan kebahagiaan hidup.


Wallahu'alam

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah