Kamis, 24 Agustus 2023

Pemimpin Tanpa Ilmu Agama Hanya Akan Membuahkan Kesengsaraan Umat



Memasuki musim pemilu orang yang berkedudukan dan berharta rame rame kampanye untuk mendapatkan suara. Supaya mereka mendapatkan kedudukan dihadapan rakyat tentu dengan iming2 gaji yang besar dari negara mereka melakukan itu, bukan karena niat ingin membangun negeri. Padahal pemimpin ataupun wakil rakyat itu kelak berat tanggung jawabnya diakhirat.

Adam ‘alaihis salam yang merupakan  yang pertama sebagai orang yang dilebihkan dari malaikat karena ilmunya, sehingga dia berhak menjadi khalifah.

Sekalipun ahli tafsir berbeda pendapat tentang pengertian kata khalifah yang terdapat pada awal surat Al-Baqarah, tetapi semuanya sepakat adanya pengertian sulthan (kekuasaan) pada kata tersebut. Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah dalam kalimatnya: “Tentang khilafah dan Sulthan, dan fungsinya sebagai naungan Allah (Subhanahu wa Ta’ala) di muka bumi.

Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman (yang artinya):
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman (yang artinya) kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi.”(Qs. Al-Baqarah:30)

Allah (Subhanahu wa Ta’ala) juga berfirman (yang artinya):
“Wahai Daud, sesungguhnya kami jadikan engkau sebagai seorang khalifah di muka bumi; oleh karena itu lakukanlah hukum yang benar diantara manusia, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu supaya kamu tidak tersesat dari jalan Allah (Subhanahu wa Ta’ala).” (Qs. Shad:26)

Ayat diatas menjelaskan manusia hakikatnya khalifah atau pemimpin dan pengelola bumi dan sumber dayanya. Jika manusia memimpin dengan hawa nafsu maka akan berubah menjadi kerusakan dan kesesatan yang dipimpin. 

Tentang firman-Nya (yang artinya) “Sesungguhnya Kuciptakan khalifah di muka bumi, kata “khalifah” di sini tidak hanya menyangkut Adam, tetapi juga mencakup seluruh anak keturunannya. Akan tetapi, istilah khalifah di sini secara langsung menyangkut Adam, sama halnya dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. At-Tiin:4)

Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini menetapkan prinsip bahwa imam dan khalifah itu mempunyai hak didengar dan ditaati.1)

Pendapat saya, bahwa Allah (Subhanahu wa Ta’ala) memilih Adam menjadi khalifah Allah (Subhanahu wa Ta’ala) di muka bumi, bukan memilih malaikat, dikarenakan Adam tidak sekedar memiliki pengetahuan tentang hal tertentu, tetapi benar-benar menguasai semua yang Allah (Subhanahu wa Ta’ala) ungkapkan dengan kata-kata-Nya sendiri dalam firman-Nya (yang artinya):

“Dan Dia telah mengajarkan semua nama kepada Adam.” ( Qs. Al-Baqarah: 31)

Dalam ayat ini digunakan kata-kata semua nama, bukan sekedar nama-nama. Sejalan dengan ayat ini adalah firman-Nya:

“Dan Kami telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Daud dan Sulaiman dan mereka berkata:’Segala puji bagi Allah (Subhanahu wa Ta’ala) yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.’ Dan Sulaiman mewarisi Daud, serta ia berkata: ‘Wahai manusia, kami diajari bahasa burung, dan kami diberi segala macam hal. Sesungguhnya ini adalah karunia yang utama .” (Qs. An- Naml: 15)

Kata ilmu pengetahuan dalam ayat ini, oleh Ibnu Badhis dikatakan sebagai suatu jenis ilmu yang agung lagi istimewa, yaitu ilmu yang dapat memadukan antara kekuasaan dan kenabian serta dapat menegakkan hukum dan hidayah.

Ayat di atas lebih dulu menyebut ilmu sebelum menyebut kekuasaan, dan lebih dulu menyebut ilmu sebagai nikmat sebelum nikmat-nikmat lainnya. Maksudnya adalah untuk menekankan pentingnya posisi ilmu serta menunjukkan bahwa ilmu adalah pangkal tolak untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ilmulah yang merupakan prinsip segala urusan agama maupun dunia, sedangkan kekuasaan hanya merupakan bangunan yang berdiri di atasnya. Jadi, kekuasaan hanya boleh ditata dan dibangun serta diatur berdasarkan ilmu. Apapun yang dibangun di luar landasan ilmu akan meluncur ke dalam kehancuran. Ilmu menjadi pagar kekuasaan, senjata yang sebenarnya, dan penompangnya. Bilamana suatu kekuasaan tidak dilindungi oleh ilmu, dia akan menghadapi kemerosotan dan kehancuran.

Sejalan dengan uraian di atas adalah firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Meraka bertanya kepadamu tentang Dzulqurnain, katakanlah: ‘Akan kami bacakan kepada cerita tentang dirinya sebagai peringatan.’ Sungguh Kami telah menjadikan dia berkuasa di muka bumi, dan Kami karuniakan kepadanya jalan tentang semuanya.” (Qs. Al-Kahfi: 83-84)

Yang dimaksud dengan jalan pada ayat di atas, menurut Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Suddi, dan lain-lain, adalah ilmu. Jadi maksudnya adalah: “Kami karuniakan kepadanya ilmu tentang segala sesuatu.” Dengan begitu, ilmunya mencakup cabang berbagai masalah.

Tentang ilmu yang dikaruniakan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) kepada para politisi, Abu Hazm meriwayatkan, ujarnya:”Saya tinggal bersama Abu Hurairah selama lima tahun. Saya mendengar dia pernah menceritakan hadits berikut:
Dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam), sabdanya:”Bani isra’il dahulu dipimpin oleh para nabinya. Setiap seorang nabi wafat, diganti nabi yang lain. Namun sesungguhnya, tidak ada lagi nabi sesudahku.”(HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini dibenarkan oleh firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang digunakan oleh para nabi yang memimpin kaum Yahudi, para rabbani, dan para pendeta, untuk menetapkan hukum.” (Qs. Al- Ma’idah: 44)

Jadi, kepemimpinan itu adalah hak para nabi, karena mereka itulah yang paling berhak dan menjadi ahlinya. Bila seorang nabi meninggal, digantikanlah oleh pewarisnya. Dalam hal ini disebutkan bahwa:

Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassalam) bersabda : ”Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan)

Jadi, mereka yang masih menjadi pelajar tidak mempunyai hak untuk memikul warisan ini. Mereka sama sekali tidak memiliki bagian, baik sebagai ashabah (ahli waris jauh kalau ada sisa waris, pen.) maupun dzawil furudl (ahli waris yang langsung berhak dan bagiannya tetap, pen.). 

Oleh karena itulah, Al-Qur’an secara cermat menggunakan kata “yaqin” untuk menerangkan sifat orang yang berhak memegang imamah seperti dalam firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):

“Dan kami telah menjadikan diantara mereka imam-imam yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan perintah kami, karena mereka bersabar dan yakin terhadap ayat-ayat kami.” (Qs. As- Sajdah: 24)

Kata “yaqin” di sini digunakan sebagai ganti kata “ilmu”, sebab antara ilmu dan yaqin jauh berbeda. Yaqin sudah masuk ke dalam praktek, sedangkan ilmu baru bersifat teori, dan yaqin kedudukannya pada tingkat imamah dan kepemimpinan. Ibnul Qayyim berkata: “Imamatud Dien (kepemimpinan agama) hanya bisa diraih dengan kesabaran dan keyakinan.”3)

Maka, alangkah hebatnya rahasia Al-Qur’an ini. Oleh sebab itulah, Ibnu Taimiyah menyatakan:”Rasulullah dan para khalifahnya memimpin manusia dalam bidang agama atau dunia mereka, kemudian muncul pemisahan kepemimpinan. Para jenderal mengatur dan mengurus kepentingan manusia dalam bidang keduniaan dan keagamaan secara seremonial, sedangkan para ulama memimpin manusia dalam bidang ilmu dan agama.”

Sedangkan pemimpin yang bodoh tidak mengerti agama sama sekali dipastikan umatnya atau rakyatnya banyak yang lebih bodoh pula tersesat dalam kemaksiatan, kemiskinan dan penderitaan turun temurun. Mereka hanya mengerti segalanya diatur oleh uang. Uang banyak menang dan uang sedikit kalah meski benar. Hukum seperti ini sudah umum di masyarakat. Uang adalah penentu hukum. Karena hukum negri ini didasarkan pada Undang Undang Duit. Segalanya diatur oleh duit. maka terlihatlah kerusakan moral dan ketidak adilan dimana mana. yang kaya bebas menindas yang miskin. yang kuat memperbudak yang lemah dsb. Itu karena Pemimpin kita hari ini merupakan kaum2 yang bodoh akan agama sehingga merusak tatanan masyarakat. Pilihlah pemimpin yang minimal tahu sedikit tentang agama, jujur dan bertanggung jawab. Bukan hanya ingin memperkaya diri setelah memperoleh jabatan. Menebar janji janji palsu omong kosong belaka. setelah menjadi pemimpin lupa akan janjinya.


Ada pepatah 

"Janganlah memimpin orang lain sebelum kamu berhasil memimpin dirimu sendiri"

Ketika manusia sudah bisa mendisiplinkan dan memperbaiki perilaku diri sendiri dia otomatis juga bisa mendisiplinkan dan memperbaiki perilaku yang dia pimpin. sebaliknya pemimpin yang bodoh acak kadut maka pengikutnya dipastikan lebih amburadul.

Panduan Singkat Tentang Zakat Mal / Zakat Harta


 Zakat merupakan rukun Islam yang sangat penting setelah syahadat dan shalat.  zakat merupakan perkara wajib yang jika seseorang mengingkarinya maka dia termasuk kaum murtad. Dia harus bertobat jika ingin kembali diakui lagi sebagai seorang muslim. Jika ia enggan bertobat maka boleh untuk diperangi. Sedang mereka yang bakhil atau membayar namun tidak sesuai kewajibannya maka ia telah berbuat zhalim dan akan berhadapan dengan ancaman Allah yang sangat keras.


Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala, artinya: "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.". (QS. 3:180)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang diberi oleh Allah harta kemudian ia tidak membayar zakatnya maka akan dijelmakan harta itu pada hari kiamat dalam bentuk ular yang kedua kelopak matanya menonjol. Ular itu melilitnya kemudian menggigit dengan dua rahangnya sambil berkata: "Aku hartamu aku simpananmu" (HR. Al-Bukhari)

Beberapa Faedah Zakat

A. Faedah diniyah (segi agama)

Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. ". (QS. 2:276)

Dalam sebuah hadits yang muttafaq 'alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabda-kan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.

B. Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)

Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.

Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.

C. Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan):

  • Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
    Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.

  • Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dong-kol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.

  • Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.

  • Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.

HARTA YANG WAJIB DI KELUAR-KAN ZAKATNYA

  • Emas dan perak, dengan syarat telah mencapai nishab (batas minimal suatu harta wajib dizakati) dan melewati haul (putaran satu tahun penuh). Nishab emas adalah 85 gram dan perak 595 gram, dan harta yang dikeluarkan sebanyak dua setengan persen. Juga berlaku bagi mata uang yang telah mencapai nilai tersebut, demikian pula emas dan perak yang dipakai untuk perhiasan, meski dalam hal perhiasan ini ada sebagian ulama yang mewajibkan sekali saja seumur hidup bukan tiap tahun, di antaranya pendapat Anas bin Malik ra (Al Muhalla 6/78 dan Sunan Kubra 4/138).

  • Harta perniagaan/perdagangan, zakat yang dikeluarkan sebanyak dua setengah persen dengan hitungan jumlah nilai barang dagangan (harga asli/net) digabung dengan keuntungan bersih, dan jika memiliki hutang maka dipotong hutang terlebih dahulu. Termasuk ketegori perdagangan adalah jual-beli mobil, rumah (properti), textil dan binatang ternak. Akan tetapi mobil, rumah atau pakaian yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tidak ada kewajiban mengeluarkan zakatnya. Pembayaran zakat perdagangan dilakukan setelah mencapai nishab dan melalui haul.

  • Hasil Tanaman berupa biji-bijian maupun buah-buahan, dibayarkan ketika panen dengan nishab kurang lebih 670 kg. Zakat yang dikeluarkan sebanyak sepuluh persen jika yang menyiraminya air hujan, dan jika meng-gunakan alat atau dengan memindah air maka cukup lima persen.

  • Peternakan, Untuk kambing ketentuan zakatnya adalah sebagai berikut:
    Antara 40 sampai 120 ekor zakatnya satu ekor kambing. Antara 121 sampai 200 ekor zakatnya dua ekor kambing. 201 zakatnya 3 ekor kambing, kemudian setiap 100 kambing selanjutnya zakatnya satu ekor. Sedangkan nishab sapi adalah sebanyak 30 ekor, dan ketentuannya dapat dirujuk dalam buku-buku yang membahas masalah zakat secara khusus. Demikian juga harta-harta lain yang secara globalnya telah mencapai batas ketentuan diwajibkannya zakat.

GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

  • Fuqara (fakir), yaitu orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, penghasilannya hanya bisa menutupi separo kebutuhannya atau bahkan tidak sampai. Dalam arti mereka hidup jauh di bawah garis standar.

  • Masakin (miskin), yaitu orang yang penghasilannya sedikit dibawah garis standar, ia hanya kekurangan sedikit dalam hal pemenuhan kebutuhan. Syaikh Al-Utsaimin berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki harta benda namun di sisi lain ia punya penghasilan baik itu berupa upah, gaji atau kesibukan lain yang memberi pemasukan mencukupi maka ia tidak berhak menerima zakat.

  • Amil Zakat, Mereka adalah petugas yang ditunjuk Hakim 'Am dalam daulah (negara) untuk menarik zakat dari para aghniya' (orang yang wajib berzakat) dan sekaligus mendistribusikannya kepada para mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga bertanggung jawab menjaga harta zakat tersebut.

  • Muallaf, mereka adalah orang-orang yang masih lemah imannya, terutama sekali bagi yang memiliki kedudukan penting seperti pemimpin suatu kaum/suku.

  • Riqab (budak), termasuk dalam hal ini adalah membelinya lalu memerdekakannya, membantu hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya karena ingin merdeka, dan melepaskan kaum muslimin yang menjadi tawanan/sandera.

  • Gharim, yaitu orang yang terlilit hutang dan tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Mereka diberi bagian dari zakat untuk membantu melunasi hutang tersebut entah itu banyak atau sedikit.

  • Fi Sabilillah, yakni mereka yang berjuang di jalan Allah, para mujahidin diberi bagian zakat sesuai kebutuhan mereka dan dari zakat ini dapat dibelikan alat-alat yang dibutuhkan untuk berjihad. Termasuk fi sabilillah adalah para penuntut ilmu syar'i.

  • Ibnu Sabil, yakni musafir yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Ia diberi zakat sebanyak keperluannya untuk sampai kembali ke negerinya.

Mereka inilah para penerima zakat berdasarkan ketetapan Allah dalam kitabNya. Perhatian untuk para pengelola zakat bahwa harta zakat tidak dapat disalurkan kepada selain 8 golongan yang tersebut di atas dengan alasan apapun. Baik itu berupa pembangunan masjid, renovasi jalan dan lain sebagainya, karena Allah menye-butkan pembagian ini dengan bentuk hashr (terbatas) yakni dengan kata innama (hanya). Sebagaimana disebut-kan dalamsurat At-Taubah ayat60.

Dari sini jelas sekali bahwa Islam tidak menyia-nyiakan harta dan segala peluang yang dapat membawa maslahat umat sehingga tidak tersisa dalam setiap jiwa rasa tamak dan bakhil yang menguasai hawa nafsu. Bahkan mengarahkan-nya untuk kepentingan yang lebih besar sebagai salah satu potensi untuk perbaikan kondisi umat.

Maraji': 
https://www.alsofwah.or.id/

Fushul fi Ash-Shiyam wa At-Tarawih wa Az-Zakah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Panduan Praktis Menghitung Zakat, Adil Rasyad Ghanim. (Khalif)