Rabu, 01 September 2021

Apa Kaitan Zuhud Dengan Sufi/Tasawwuf?




Oleh Managemen Yasmin 

Jika dalam agama lain seorang pertapa, mungkin saja dalam islam adalah istilah sufi mendekati sejenis pertapa itu.  Sesegera seseorang mendengar ‘tasawuf’ atau ‘sufi’, maka yang terbayang adalah sosok manusia yang serius, kalau tak malah murung, tak banyak bergaul dan cenderung menyendiri, berpakaian seadanya serta hidup serba kekurangan, dan menghabiskan waktu-waktunya untuk melakukan ibadah (mahdlah). Mungkin, akarnya bisa kita runut dari konsep zuhud – yang memang merupakan salah satu kunci dalam tasawuf.

Zuhud, oleh sekelompok Muslim memang sempat diartikan sebagai asketisme. Asketisme pada mulanya merupakan suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menyangkal kehidupan dunia dengan harapan bisa menyucika diri dan kemudian bisa bertemu dengan Tuhan. Pemahaman seperti ini biasanya ditunjang oleh perujukan dan pemahaman – khas terhadap hadis-hadis tertentu yang mengesankan anjuran untuk merendahkan kehidupan dunia. 

Salah atunya yang popular-dikutip juga oleh Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulm Al-Din-adalah sebagai berikut: Suatu saat Rasulullah Saaw. Diriwayatkan sedang berjalan sedang berjalan para sahabatnya. Sampai di suatu tempat Rasulullah menunjuk kepada seonggokan benda. “Apa it?” tanya Rasulullah kepada sahabatnya. “Bangkai anjing ya, Rasulullah,” “Bagaiman sikap kalian terhadapnya?” “Kami merasa jijik,” jawab sahabat. Maka, Rasulullah pun bersabda, “Begitulah seharusnya sikap seorang Mukmin terhadap dunia.”

Konsep zuhud yang diidentikkan asketisme seperti ini pada gilirannya melhirkan konsep lain, yaitu faqr (kefakiran), dalam makna yang praktis pula. Bahwa untuk bisa mendekat atau bertemu dengan Allah Swt. kita harus hidup seperti orang fakir. Di Anak Benua India, khususnya, dapat ditemui darwis-darwis yang menjalani pola kehidupan seperti ini. Mereka beranggapan bahwa, dengan menjadi peminta-minta, orang merasa diri tidak punya apa-apa dan hina. Dengan demikian, ia mengharapkan akan makin merasakan kebutuhan kepada Allah Yang Mahacukup.

Banyak ahli mengaitkan fenomena di atas dengan distorsi ajaran-ajaran Islam tentang zuhud oleh konsep-konsep tertentu dalam agama Hindu. Dalam ajaran Indu terdapat konsep Samsara yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘sengsara’. Dalam penafsiran tertentu konsep ini, orang – sebelumnya akhirnya kembali dan bertemu dengan Tuhan – harus melewati taraf hidup sengsara melalui berbagai tahap reinkarnasi. Bagaiman sesungguhnya zuhud harus dipahami?

Zuhud memang merupakan salah satu konsep kunci tasawuf. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata za-ha-da, bermakna menahan diri (dari sesuatu yang hukum aslinya mubah). Anjuran berzuhud dalam bertasawuf dilatarbelakangi oleh kayakinan kalangan ini bahwa manusia cenderung terlalu menikmati hal-hal keduniaan yang mubah sehingga, ujung-ujungnya, ia akan terjerumus ke sikap berlebihan. Imam Ghazali, dalam bukunya yang berjudul Kimiyai Sa’adah, mencontohkan penolakan Sayidina Umar untuk memakai wewangian karena khawatir terjerumus ke dalam sikap terlalu mencintai barang ini.

Sayangnya praktik wara’ seperti ini belakangan berkembang pada sikap penolakan terhadap dunia dan kesenangan-kesenangannya. Orang-orang semacam ini barangkali berpikiran bahwa dengan membunuh kecenderungan badannya terhadap kesenangan-kesenangan duniawi maka potensi ruhaniah mereka akan bisa berkembang penuh. Padahal, dalam penafsiran yang lain, Islam tidak pernah menghadapkan aspek duniawi dan badani manusia dengan aspek ruhani dan ukhrawi. Bukan hanya karena perkembangan ruh butuh kepada kesejahteraan hidup keduniaan – baik fisik maupun psikologis. Lebih dari itu, kehidupan dunia – jika diperlakukan secara benar – adalah wahana kita untuk dapat meraih kebahagiaan di akhirat.

Mungkin ujaran sufi Syihabuddin Umar Al-Suhrawardi dalam buku klasiknya Awarif Al-Maarif,tentang cirri-ciri seorang faqir atau sufi, berikut ini dapat mengungkapkan secara tepat kesinambungan yang subtil antara zuhud dan penerimaan terhadap kesenangan-kesenangan duniawi yang proporsional: “(Seorang faqir atau sufi) mesti meninggalkan gagasan tentang kepemilikan duniawi, hidup dalam keserasian dengan saudara-saudaranya…Dermawan dan terus awas mengenai ucapan Nabi Saaw.: ‘Berilah siapa saja, yang meminta (sedekah), meski ia datang naik kuda,’ ramah dan santun, berwatak pertengahan…: selalu menampilkan wajah yang penuh senyum: menerapkan keadilan yang setinggi-tingginya terhadap saudara-saudaranya…: memelihara keseimbangan yang pas antara zuhud yang berlebihan dan hidup terlalu enak.”

Mengenai soal ini, dalam suatu kalimat yang lugas, Rasulullah menyatakan, dunia adalah lading (mazra’ah) untuk akhirat. Untuk menjelaskan sabda Nai Saaw. ini, baiklah saya kutipkabn kata-kata hikamh Amir AL-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib, khlaifah yang biasa digelari Penghulu Orang-Orang Miskin (Imam Al-Masakin), yang kepadanya hampir semua silisilah tarekat tasawuf bersumber:

“Sesungguhnya dunia ini adalah rumah kebenaran bagi orang-orang yang menelitinya secara cermat, dan mendalam, suatu tempat tinggal yang penuh dengan kedamaian dan kerehatan bagi orang-orang yang memahaminya, dan yang terbaik sebagai lahan bagi orang-orang yang ingin mengumpulkan bekal bagi kehidupan akhirat. Inilah tempat untuk mencari ilmu dan hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya, tempat beribadah bagi sahabat-sahabat Allah dan bagi para malaikat. Inilah tempat yang di dalamnya para nabi menerima wahyu dari Sang Rabb. 

Inilah pula tempat bagi para wali Allah untuk menyelenggarakan amal-amal baik dan untuk meraih imbalan yang setimpal; hanya di dunia ini mereka bisa berdagang dan memperoleh rahmat Allah, dan hanya ketika hidup di sini mereka bisa menukar amal-amal baik mereka dengan surga. Nah, setelah itu semua, masihkah yang akan bicara tentang keburukan dunia ini?”

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah