Rabu, 29 September 2021

Pelajaran dan Hikmah Penting Hari Raya Idul Adha (Qurban)

 ( Syekh H.Dr Ahmad Sabban Rajagukguk, MA : Penulis : Tuan Guru Serambi Babussalam Simalungun, Dosen IAIN SU Dan Pascasarjana Malikussaleh Lhokseumawe )


Sebelum kita munculkan keberanian menyembelih Dan menyaksikan cipratan darah domba itu, maka berperanlah kita seperti Ibrahim as dengan Ismailnya.

Setiap ‘Idul Adha, sungguh terdapat salah satu kisah besar dan ‘menakjubkan’ dalam sepanjang sejarah manusia yakni perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as beserta keluarganya dalam menegakkan nilai-nilai tauhid yang kokoh kepada Allah ‘Azzawa Jalla.

Nabi Ibrahim as, sudah berkali-kali mendapat ujian dan cobaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Setidaknya empat ujian besar dihadapi Ibrahim as: Pertama, dibakar karena menegakkan tauhid, kedua, diusir dari kampung halamannya, ketiga, bertahun-tahun tidak dikarunia keturunan, dan keempat, diperintahkan menyembelih anaknya.

Berkata Ibnu Abbas RA: “Belum ada para nabi yang mendapatkan dalam agama kemudian menyempurnakannya dengan sempurna melebihi Ibrahim as. Atas keberhasilan Ibrahim as dalam setiap menghadapi cobaan dan ujian, kemudian Allah memberikan gelar kepadanya dengan sebutan Khalilullah yakni kekasih Allah.

Firman Allah: Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QSAl Mumtahanah:4). Tuhan lah sesungguh yang memerintahkan kita meneladai Ibrahim as dan keluarganya. Dan salah satu keteladanan yang ‘menakjubkan’ ketika Allah memerintahkannya menyembelih putra kesayangannya yakni Ismail as.

Peristiwa ini direkam Alquran dengan penuh komunikatif, dialogis dan dramatik. Firman Allah dalam Surah as Shaffaat 102-109: Maka tatkala anak itu sampai pada usia dapat berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu .

Maka pikirkanlah apa pendapatmu !” Ia menjawab : Wahai ayahku , kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (102) Tat-kala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya .(103) Dan Kami panggil dia : Hai Ibrahim. (104) Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.(106) Dan Kami tebus anak itu dengan seokor sembelihan yang b-sar. (107) Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian (108) Yaitu Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim (109) Dari informasi Alquran di atas,‘setetes hikmah’ yang bisa diambil antara lain :

Pertama, menegakkan tauhid dengan penuh keikhlasan.Ibrahim as telah membuktikan tulusnya, yakinnya, cintanya hanya kepada Allah semata, sehingga tidak satupun kepentingan dan kepemilikan yang dimilikinya dapat menghambat perintah Allah Ta’ala.

Ibrahim telah menegakkan tauhid yang suci dan tidak pernah ragu meskipun harus mengorbankan anak tercintanya. Ketauhitan dan pengabdian seperti inilah yang telah ditegaskan Allah SWT kepada kita umat Rasulullah SAW: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus.

”Pelajaran penting yang dari kisah ini adalah betapa Allah, ingin melihat kepada hambaNya, apakah kecintaannya terhadap anaknya lebih tinggi dibanding kepada Allah SWT. Kecintaan seperti inilah yang ingin disembelih oleh Allah SWT. Ismail adalah apapun atau siapapun yang dapat merusak hubungan dengan Allah, atau yang mendisorientasi perjalanan menuju Allah.

Kedua, menghadirkan jejak para Nabi tentang pengorbanan. Idul Adha berarti Idul Kurban. Karena Adha berasal dari kata udhiyah yang berarti korban. Sedangkan kurban berasal dari kata Arab, qaraba yang berarti dekat. Antara kurban yang berarti mendekat dan adha yang berarti kurban, sesungguhnya dua makna yang dapat dipertemukan, yaitu mendekatkan diri kepada Allah diperlukan sebuah pengorbanan.

Terminologi ini telah menegaskan kepada kita betapa hubungan halat dengan kurban sangat erat dan tidak dipisahkan. Firman Allah, maka dirikanlah shalat dan berkurbanlah. (QS AlKautsar:2). Betapa kuatnya anjuran berkurban sampai Rasulullah SAW mengecam mereka yang pantas berkurban tapi tidak melaksanakannya.

“Dari Abu Hurairah Ra,Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempunyai kemampuan untuk berkurban tetapi tidak melaksanakannya, maka jangalah ia dekat-dekat dengan tempat shalat kami.” (HR Ahmad dan Turmidzi) Allah Ta’ala mengabadikan pengorbanan Ibrahim as dengan menggantikannya dengan penyembelihan hewan kurban telah memberikan pesan sejarah kepada kita, betapa setiap kebaikan, perjuangan dan pengorbanan yang dilandasi dengan spirit tauhid, ikhlas karena Allah.

Maka Allah kemudian akan mengabadikannya di sisiNya. Begitulah kita semestinya dalam melaksanakan setiap kebaikan dan pengorbanan dalam setiap menegakkan kebenaran, menegakkan agama dan membangun bangsa ini.

Semestinya dari berjuta-juta setiap tahun kita menyembelih hewan kurban sudah sepantasnya kita mengambil hikmah penyembelihan itu. Sebelum kita munculkan keberanian menyembelih dan menyaksikan cipratan darah domba itu, maka berperanlah kita seperti Ibrahim as dengan Ismailnya.

Bahwa sesungguhnya yang sampai kehadirat Allah SWT adalah ketakwaan. Firman Allah Ta’ala: Daging (hewan kurban) dan darahnya, sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketaqwaan kamu (QS al Hajj: 37) Dalam perspektif sufistik, perintah Allah menyembelih anak bagi Ibrahim as dan diabadikan dengan menyembelih hewan kurban bagi umat Nabi Muhammad SAW pada dasarnya adalah perintah menyembelih kecintaan kita kepada dunia (hubbuddunya). Karena hubbuddunya merupakan akar kerusakan agama, kebinasaan iman dan kehancuran bangsa.

Berapa saudara kita bahkan kita sendiri sering tergelincir ke lembah maksiat karena memperturutkan hawa nafsyu dan hubbuddunya. Qs Alhadid ayat 20: Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan kesenangan yang menipu.

Ketiga, tidak pernah kompromi dengan Setan. Setan adalah musuh abadi sekaligus musuh nyata bagi setiap manusia. Ibrahim as ketika sudah “bulat” tekadnya menyembelih Ismail, sungguh senantiasa digoda Setan.

Menarik dicermati,ketika Ibrahim as akan melaksanakan penyembelihan, Setan terus menghasut, membuju dan bahkan argumentasi rasionalitas juga disampaikan ke Ismail dan Hajar. Senjata pamungkas Setan saat itu sangat logis yakni, “apa mungkin Tuhan, menyuruh hambaNya (Ibrahim as) menyembelih putra kesayangannya ? ”Setan tidak berhasil menggoda Ibrahim as, kemudian menggoda Ismail as dan Siti Hajar, juga tidak berhasil. Bahkan mereka ‘memungut’ kerikil dan melemparinya.

Pesan permusuhan dan tidak pernah komproni dengan Setan diabadikan dalam syariat umat Rasullah SAW sebagai salah satu wajib haji yakni melempar jumrah (‘ula wustha dan aqabah). Melontar jamarat mengingatkan kita khususnya jamaah haji bahwa Iblis senantiasa berusaha menghalangi orang Mukmin yang akan melakukan kebaikan. Sabda Rasul: Sungguh Setan merayap pada diri manusia sebagaimana jalannya darah.


wallahualam

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah