Rabu, 01 September 2021

Kunci Kebahagiaan, Dekat Dengan Allah

 


Kisah Rubinstein

Rubinstein, komposer dan pianis terkemuka abad 20, setiap hari selalu tampak ceria, optimis dan menebarkan aura kebahagiaan. Para sahabatnya penasaran; apa rahasianya?Menjawab desakan para sahabatnya yang ingin tahu, di ulang tahunnya yang ke-80 dia pun mengungkapkan; setiap kali membuka matanya di pagi hari ia merasa seperti bayi yang baru terlahir. Sehingga, ia senantiasa merasa hidupnya penuh dengan hal-hal yang bisa dipelajari, yang dapat dieksplorasi. Maka, bagi Rubinstein,  hidup selalu menjadi arena yang menggairahkan dan menantang.  

Ketika usia Rubinstein melampui 80 tahun, sebagaimana manusia lazimnya, ia mengalami proses penurunan penglihatan. Hari demi hari, pandangannya kian kabur. Ia semakin kesulitan memainkan piano. Bagaimanapun matanya tidak lagi dapat mengontrol gerakan tangannya menekan tuts-tuts piano. Orang kemudian menyimpulkan, sebentar lagi Rubinstein akan habis riwayatnya sebagai pianis. Kamahirannya akan berakhir. Begitu juga, kebahagiaan yang selalu terlihat pada dirinya, diprediksi lambat laun akan sirna. Bukankah main piano adalah hidupnya? Di mata banyak orang, ini saatnya Rubenstein akan kehilangan keceriaan dan kebahagiaanya. Tapi, apa yang terjadi?

Rubinstein tetap Rubenstein. Ia memiliki keterampilan tingkat tinggi untuk bahagia. Cara pandangnya tidak dimiliki oleh banyak orang. Justru disaat penglihatannya kian kabur dan bahkan buta total, ia merasa hidupnya lebih bergairah. Ia merasa mendapatkan tantangan baru, anugerah baru dari Tuhan, setelah ia mencapai apa saja yang diinginkan dalam hidup. Apakah itu? Belajar main piano tanpa melihat! Berbeda dengan sangkaan orang, Rubinstein justru semakin bahagia, bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. Rubinstein adalah  di antara sedikit orang yang mampu menjadikan hidupnya mengalirkan kebahagiaan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit  sekalipun.


Apa dan Bagaimana Kebahagiaan itu?

Bahagia berarti damai, tenang, dan stabil. Orang yang bahagia dalam kesehariannya selalu merasa damai dan tentram. Jiwanya tetap stabil meski tak semua yang kita dambakan dalam hidup selalu bisa kita raih, meski berbagai problem satu per satu datang menderanya.

Jika itu makna kebahagiaan, lalu bagaimanakah cara untuk mengaktualkan dan  memelihara kebahagiaan dalam hidup kita? Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada gap antara apa yang kita dambakan dan hasil atau keadaan aktual kita.Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk usaha yang mungkin diupayakan manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.


Pertama, berkerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang kita dambakan dalam hidup ini. Sedikitnya ada 2 kelemahan dalam cara ini. Satu, ada banyak kemungkinan bahwa kita tak akan pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, setiap kebutuhan kita terpenuhi, selalu muncul kebutuhan baru. Manusia tak akan pernah puas. Maka, cara ini hampir bisa dipastikan kita tak akan pernah merasa bahwa semua yang kita dambakan dalam hidup ini akan terpenuhi. Cara ini tak akan pernah membawa kebahagiaan.


Kedua, mengurangi atau menekan kebutuhan. Dengan berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinya kebutuhan kita menjadi makin kecil. Demikian pula kemungkunan ketidkbahagiaan kita. Masalahnya, manusia diciptakan Tuhan dengan dorongan untuk selalu rindu meraih pencapaian-pencapaian baru yang lebih baik. Ini adalah manifestasi dari sifat fitri manusia untuk mencapai kesempurnaan, betapa pun kesempurnaan ini tak mungkin benar-benar dicapainya. Jadi, sebelum benar-benar bisa mendatangkan kebahagiaan, cara ini sudah bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, cara ini tidak realistis. Dan semua yang bertentangan dengan fitrah manusia akan justru menjadi sumber ketidakbahagiaan.

Kedua cara di atas masih bersandar pada konsep kebahagiaan ekstrinsik. Yakni, bahwa kebahagiaan hanya dapat tercapai jika semua dambaan kita dalam hidup tercapai.


Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga apa pun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu kita syukuri. Membangun suasana batin yang ditopang dengan sikap sabar dan rasa syukur yang kokoh seperti ini, akan mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Poin ketiga ini sama sekali tak meniihilkan cara dalam poin pertama di atas. Mari kita bekerja keras, mari kita kejar kesempurnaan, sebatas kemampuan kita. Tapi, at any point in time kita bersabar dan bersyukur atas apa saja yang telah kita raih. Seperti Rubinstein. Kita akan menemukan kebahagiaan dengan selalu berpikir positif dalam keadaan apa pun.


Inilah cara untuk mencapai kebahagiaan sejati. Yakni kebahagiaan intrinsik, yang di dalamnya kebahagiaan kita bersandar pada kemampuan hati kita untuk bersabar dan mensyukuri apa saja yang terjadi dan dapat kita raih, bukan bersandar pada apa-apa yang bisa kita raih itu.Bagaimana bisa? Kenapa untuk bahagia manusia harus dekat kepada Allah SWT? 

Pertama, persoalan agama merupakan persoalan yang sudah menjadi concern manusia sejak orang-orang yang pertama kali hidup di alam ini sampai sekarang. William James, filosof Amerika sekaligus tokoh psikologi modern aliran pragmatisme, menulis sebuah buku berjudul The Varietes of Religious Experience pada tahun 1904., lebih dari 1 milenium lalu. 


Tapi siapa pun yang ingin tahu tentang kecenderungan makhluk manusia kepada agama dan spiritualiatas tidak bisa tidak harus membaca buku ini. Meskipun setelah itu banyak buku terbit dengan soal yang sama, tapi buku William James belum tergantikan karena ia merekam pengalaman keberagamaan orang-orang dari zaman yang paling awal sampai sekarang. Dari situ ia mendapati betapa miripnya pengalaman-pengalaman keagamaan dari orang-orang yang dipisahkan oleh waktu yang panjang, jarak yang jauh, perbedaan budaya dan perbedaan agama yang tajam. Meski bukan seseorang yang religius, William James kemudian menyimpulkan bahwa; meskipun peradaban akan menarik umat manusia ke arah yang berbeda, tetapi, paradoksnya, akan lebih banyak orang yang berdoa, mendekat kepada Tuhan. Ini jugalah tesis banyak peneliti lain agama, termasuk biolog Alexis Carrel dalam dua karya-klasiknya: Prayer dan Man the Unknown.


Dari masa modern, sosiolog Peter Berger harus merivisi pandangan lamanya tentang akan hilangnya agama dari kehidupan manusia dalam berbagai karyanya terdahulu, dan terpaksa merevisinya dengan The Desecularization of the World. Kenyataannya, ramalan orang di berbagai masa tentang akan pupusnya agama dari kehidupan manusia, semuanya runtuh. Sebagai contoh lain, suatu kali Majalah Time memuat foto cover story majalah ini dari edisi tahun 1945-an yang di dalamnya diramalkan bahwa  agama tinggal menunggu waktunya. Dan sebuah cover story Time yang terbit 60 tahun kemudian mengakui bahwa ramalan tahun itu keliru. Agama justru bangkit lebih kuat lagi. Newswieek pun pernah menunjukkan betapa, seiring materialisme dan sekularisme, justru lebih banyak orang Amerika berdoa ketimbang berolahraga, nonton bioskop dan berhubungan seks!.


Memang, tampaknya Tuhan bersemayam dalam fitrah (natur primordial) makhluk yang bernama manusia ini. Betapa pun para ateis terus-menerus berusaha manyangkalnya.


Sebagian ateis menawarkan penjelasan mengenai Tuhan sebagai ‘god of the gaps’. Artinya Tuhan yang keberadaan-Nya mengisi ketidakmampuan kita untuk menjelaskan keadaan. Kalau suatu saat kita bingung menjelaskan kenapa alam semesta ini dipenuhi bencana yang kita tak berdaya menolaknya, kita buatkan konsep tentang tuhan yang bisa menjelaskan hal itu. Ketakutan, ketidaktahuan telah mendorong manusia menciptakan (konsep) Tuhan.


Ada juga konsep yang disebut dengan meme. Meme adalah semacam gen, tapi bukan bersifat biologis, melainkan sosial. Jadi sebagaimana manusia ini punya gen yang diturunkan dari orang tua, gen sosial yang dinamakan meme ini juga diturunkan kepada masyarakat oleh lingkungan sosialnya. Tuhan, dalam konteks ini, semacam warisan turun-temurun lingkungan sosial.

Kenyataannya, mau dibilang itu meme, mau dibilang itu gen, atau ’gods of the gap’, manusia butuh sesuatu, sesuatu yang kemudian disebut sebagai Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widi, dan sebagainya. Kenyataannya, dari zaman primal, sebelum 180 abad yang lalu, sampai sekarang -setelah segala macam ilmu pengetahuan makin maju, teknologi makin maju- apa yang disebut Tuhan itu tak pernah sirna dari kehidupan manusia..

Mengenai ini, Al-Quran menjelaskan; ”Hadapkan wajahmu dengan lurus kepada al-din (jalan hidup itu) lurus, yaitu fitrah Allah yang manusia diciptakan berdasarkan fitrah itu”. Manusia diciptakan atas dasar ’natur’ ketuhanan. Jadi, Tuhan adalah sumber dan 'kembaran' manusia. Demikian pula kita diajar-Nya bahwa ”Sesungguhnya kita bagian dari Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali.” Ada ikatan yang menyatukan manusia dan Tuhan. Tuhan sesungguhnya adalah soul mate manusia. ”Orang-orang yang percaya itu, amat sangat kecintaannya kepada Allah,” demikian al-Qur’an mengabarkan.

Kebahagiaan tertinggi adalah ketika cinta kita terbalas, ketika sukma kita dipenuhi cinta. Sedangkan nestapa paling menyakitkan adalah kehampaan oleh cinta tak terbalas. Apalah pula cinta kepada Allah. Dengan kata lain, surga itu adalah kembali kepada Allah Swt dan neraka itu jauh dari Allah Swt.

Kalau pun di dunia ini kealpaan kepada Tuhan sebagai soul mate kita belum terlalu nyata, nanti di barzakh alam kubur, perasaan tersiksa mulai makin terasa. Yakni ketika intensitas ruhani kita lebih tinggi dibanding kehidupan kita di dunia. Puncak perasaan masuk neraka itu adalah ketika kita dibangkitkan -dalam bentuk yang sepenuhnya ruhani dan kita sudah sepenuhnya ingat bahwa soul mate kita Allah Swt- dalam keadaan kita jauh dari Allah Swt. Yakni ketika diri kita didera perasaan hampa akibat jauh dari Kekasih Sejati kita itu.

Semoga kita selalu dikarunia kedekatan (qurbah) kepada Allah dan kebahagiaan selalu berada di hadirat-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah