Minggu, 29 Agustus 2021

Bagaimana Supaya Amal Kita Diterima?





 Kita menjadi muslim sudah lama, Alhamdulillah. Tentunya amal-amalan ibadah di dalam dienul Islam telah banyak yang kita lakukan. Shalat, baik yang wajib maupun sunnah, shaum, zakat, infak, berdoa, dan masih banyak lagi amal yang telah kita laksanakan. Tapi bagaimana kedudukan amal tersebut di sisi Allah? Pernahkah kita merenungkannya?  

 

 

Kita menjadi muslim sudah lama, Alhamdulillah. Tentunya amal-amalan ibadah di dalam dienul Islam telah banyak yang kita lakukan. Shalat, baik yang wajib maupun sunnah, shaum, zakat, infak, berdoa, dan masih banyak lagi amal yang telah kita laksanakan. Tapi bagaimana kedudukan amal tersebut di sisi Allah? Pernahkah kita merenungkannya? 


Ada orang yang melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Ada juga yang sangat giat beribadah, ibadahnya banyak sekali, setiap waktunya digunakan untuk beribadah kepada Allah. Bahkan istri dan anaknya hampir-hampir tidak diurusinya. Namun ada juga yang tidak peduli dengan ibadahnya, kalau ia sedang ingin beribadah, beribadah;kalo sedang malas, maka ia meningglkannya, walaupun itu ibadah wajib. Ada juga yang berprinsip asal gugur kewajiban. Ada juga yang beribadah hanya berdasarkan adat istiadat setempat. 


Saudaraku, Anda termasuk yang mana? 

Terlepas dari apa jawaban Anda, ada yang ingin aku sampaikan mengenai ibadah ini, semoga Anda mau menerima dan merenungkannya. Semoga bermanfaat bagi Anda. Anggaplah ini sebagai nasihat, bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “dien itu nasihat?” Bukankah nasehat itu bermanfaat bagi setiap muslim? 


Saudaraku, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, 

Ada seorang ulama menulis di salah satu bukunya: “Sebelum engkau melangkah satu pun-wahai saudaraku muslim- maka engkau harus tahu jalan keselamatanmu, janganlah engkau memforsir dirimu dengan banyak amalan, karena boleh jadi orang yang banyak beramal tidak mendapatkan apa-apa, kecuali letih dan lelah.” (ucapan Syaikh Husain Al-Awaisyah di dalam bukunya Al-Ikhlas, sebagaimana dinukil di dalam “Fikih Nasehat” hal.61) 


Perkataan ulama tersebut sangat benar. Apakah Anda sependapat denganku? Bagaimana tidak, kita sudah berpayah-payah, badan kita capek, letih, dan lelah. Kita juga telah menghabiskan waktu, tanaga, dan biaya yang kita punya. Eh, ternyata kita tidak mendapatkan apa-apa. Bukankah ini sia-sia? Kita menjadi orang yang merugi. Kalau tahu begini, mendingan kita diam saja di rumah. Bukankah begitu? 


Tapi bagaimana mungkin, orang banyak beramal kok tidak mendapatkan apa-apa? Itu tidak masuk akal! Niat ibadah yang kita lakukan kan ikhlas untuk Allah. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya): 


“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya”? 


Niat kita kan baik, beribadah kepada Allah. Masa’ Allah tidak menerimanya? 


Wahai Saudaraku, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada kita, 

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di kitabnya yang mulia, Al-Qur’anul Karim: (yang artinya): 


”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al_Kahfi: 103-104) 


Saudaraku, perhatikanlah ayat di atas. Bagaimana komentarmu? 


Ketahuilah, bahwa agar amal ibadah yang kita lakukan diterima di sisi Allah, disyaratkan bahwa ibadah itu harus benar. Dan ibadah itu tidak dikatakan benar kecuali dengan dua syarat, yaitu: 


1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar maupun kecil. 

2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mutaba’ah). 


Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat Laa ilaaha illallah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. 

Adapaun syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syariatnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah yang diada-adakan. 


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): 


“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi:110) 


Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. 

Yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepadaNya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusanNya yang menyampaikan ajarannya. Maka kita wajib membenarkan bagaimaan cara kita beribadah kepda Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat. 


Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): 


“Agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Surat Al-Mulk:2) 


Wahai Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita, perhatikanlah baik-baik ayat 2 surat al-Mulk di atas. Allah Azza wa ‘Ala tidak berfirman (yang artinya): “…yang lebih banyak amalnya”, tetapi Allah berfirman (yang artinya): “…yang lebih baik amalnya.” 

Adapun maksud dari lebih baik amalnya telah dijelaskan oleh Fudhail bin Iyadh, Yaitu: “Seikhlas-ikhlasnya, dan sebenar-benarnya.” Kemudian beliau (Fudhail bin Iyadh) berkata pula: 

“Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidaklah diterima, dan apabila amalan tersebut benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak diterima pula, sampai amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas apabila dilakukan karena Allah Ta’ala dan benar apabila sesuai dengan sunnah (Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).” 


Wahai, Saudaraku; sekarang engkau telah memahaminya bukan? 

Kedua syarat ibadah tadi, yaitu ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam harus ada kedua-duanya. Tidak bisa hanya salah satu saja. Ikhlas tapi tidak sesuai contoh Rasulullah, maka tertolak. Begitu juga sebaliknya; sesuai contoh Rasulullah tapi tidak ikhlas, maka yang demikian sia-sia. 



Syarat Pertama: Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar maupun kecil. 


Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah Azza wa Jalla dari hal-hal yang mengotorinya. Arti lainnya; menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan. Atau; mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Khaliq. 


Ikhlas ini diperintahkan Allah dalam firmannya (yang artinya): 


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah:5) 


Ya’qub pernah berkata: “Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.” 


As-Suusiy berkata: “Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barangsiapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi.” 


Fudhail berkata: “Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan mu dari keduanya.” 


Saudaraku, ikhlas ini sangat berat sekali. Hingga sebagian ulama berkata: “Ikhlas sesaat berarti keselamatan abadi. Tetapi ikhlas itu sulit sekali.” 


Syarat kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mutaba’ah). 


Kita diperintah untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Allah berfirman (yang artinya): 


“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr:7) 


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): 


“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari) 

Dalam riwayat Muslim: 

“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak.” 

Ayat dan hadits di atas memerintahkan kita untuk mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kita dilarang membuat ataupun mengamalkan bid’ah (sesuatu yang baru, menyerupai syariat dan dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah) 


Saudaraku, ketahuilah; di dalam buku: Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, Syaikh Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syariat dalam enam perkara, inilah penjelasannya beliau (dengan sedikit perubahan) 


1. Pertama: Sebab 

Jika seseorang melakukan suatu ibadah karena Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). 

Contoh: Ada orang melakukan shalat tahajud pada malam 27 rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj (dinaikkan ke atas langit) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syariat. Syarat ini –yaitu ibadah harus sesuai dengan syariat dalam sebab- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap sunnah namun sebenarnya bid’ah. 


2. Kedua: Jenis 

Artinya: Ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. 

Contoh: Seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syariat dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing. 


3. Ketiga: Kadar (bilangan) 

Kalau ada seseorang yang menambah bilangan rakaat suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat itu adalah bid’ah dan tidak diterima. Karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat dzuhur lima rakaat, umpamanya, maka shalatnya tidak sah. 


4. Keempat: Kaifiyah (Cara) 

Seandainya ada orang yang shalat: sujud dulu baru ruku,maka ini tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat. 


5. Kelima: Waktu 

Apabila ada orang menyembelih binatang kurban pada hari pertama Dzul Hijjah, maka tidak sah; karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. 


6. Keenam: Tempat 

Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah masjid. 


Wahai Saudaraku, semoga Anda belum bosan mendengarkanku, kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh yang diterima di sisi Allah kecuali apabila memenuhi dua syarat tadi, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Dan mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan di atas. 


Sekarang, kalau Anda ditanya; bagaimana Anda beramal? Jawablah dengan penjelasan di atas. 

Semoga Allah memudahkan dan menerima amal-amal sholeh kita. 

Semoga hal ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Allahu A’lam. Sholawat dan salam untuk nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, keluarga dan para shahabatnya. 


== 

penulis : Abah Utik @ 3 Des 2001  


0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah