Kamis, 11 November 2021

Menggunjing / Ghibah Sama Dengan Memakan Daging Manusia



 ALLAH Ta’ala berfirman:

“…Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12).

Imam Al-Qurthubi berkata, Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingnya dimakan, sebagaimana orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.

[Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS.Al-Hujurat,49: 12. Jilid 17, Hal.85.]

Ibnu Abbas berkata, “Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikian pula menggunjing pun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).”[Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS.Al-Hujurat,49: 12. Jilid 17]


MENGGUNJING YANG BOLEH


PEMBAHASAN perkara  ini dari hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Tahulah kalian apa itu ghibah? Mereka (para sahabat) menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Yaitu kamu menceritakan tentang saudaramu dengan sesuatu yang menyakitkannya.’ Dikatakan, ‘Bagaimana jika apa yang aku ceritakan itu ada pada saudaraku itu?’ Beliau bersabda, ‘Jika benar seperti itu apa yang kamu katakan maka kamu telah menggunjingnya, dan jika tidak ada dalam dirinya maka engkau telah melakukan kebohongan terhadapnya.” (HR. Muslim, No. 6536).


Imam An-Nawawi berkata terhadap hadis di atas bahwa, kata (Bahattah) artinya adalah, engkau berkata yang tidak benar terhadapnya. Ghibah (menggunjing) adalah menceritakan tentang seseorang saat ia tidak ada dengan sesuatu yang dapat menyakitkannya. Perbuatan ini hukumnya haram, tetapi ada ghibah yang diperbolehkan karena untuk alasan syar’i. Setidaknya ada enam sebab;


Pertama; Melaporkan tindakan penzaliman kepada penguasa, hakim atau pihak lain yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah kezaliman orang itu. Orang yang lapor itu mengucapkan, “Orang ini telah menzalimi aku.” Atau, “Orang ini melakukan ini kepadaku.”


Kedua; Meminta pertolongan untuk mencegah kemunkaran, atau menyadarkan orang yang sedang melakukan kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia boleh mengatakan kepada orang yang diharapkan bantuannya, “Si Fulan melakukan hal ini, buatlah dia jera!” Atau kata-kata yang semisal itu.


Ketiga; Meminta fatwa hukum. Boleh seseorang berkata kepada sang mufti, “Fulan (suamiku, saudaraku, atau ayahku) telah menzalimi aku, apakah boleh dia melakukan itu?” atau kata-kata lainnya. Perkataan seperti ini diperbolehkan saat dibutuhkan. Tetapi yang lebih baik kata-katanya diubah. Seperti, “Bagaimana seandainya seseorang melakukan tindakan seperti ini kepada istrinya?”. Meskipun demikian, menyebutkan nama tetap diperbolehkan. Hal ini diperkuat oleh hadis Hindun yang mengadu kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang suami yang pelit.”


Keempat; Memberi peringatakan kepada kaum muslimin akan adanya keburukan. Hal ini bisa dari berbagai macam kasus;


    Mengkritisi para perawi hadis, menyeleksi saksi-saksi dalam persidangan, dan kritik kepada para pengarang buku. Semua ini diperbolehkan dengan ijma’ ulama, bahkan wajib dengan dalih menjaga kemurnian syariat Islam. Dan boleh juga menyebutkan beberapa aib mereka dalam forum musyawarah.

    Jika kamu melihat orang alim selalu mendatangi orang yang fasik atau penekun bid’ah untuk belajar kepadanya dan kamu mengkhawatirkan keselamatan agamanya, maka kamu harus mengingatkannya dengan menyebutkan sisi buruk orang yang didatangi itu.

    Jika kamu melihat orang yang akan membeli sesuatu yang ada cacatnya, atau seorang hamba sahaya yang suka mencuri, atau pezina, atau peminum minuman keras, atau yang semacam itu, maka kamu boleh menyebutkan hal-hal negatif tadi pada si pembeli mungkin dia memang tidak tahu, ini semua dalam rangka saling menasehati saja bukan untuk merusak atau mengacaukan.

    Mengkritisi pihak-pihak yang memegang peran dalam suatu lembaga masyarakat yang tidak profesional dalam mengelola, atau bertindak fasik. Boleh bagi seseorang yang mengetahuinya melaporkannya kepada atasannya agar meluruskan anak buahnya dan tidak mudah percaya dengan laporan-laporannya berkaitan dengan lembaga yang dipimpin.


Kelima; orang itu terang-terangan dalam melakukan kefasikannya atau bid’ahannya, seperti pemabuk di tempat umum, perampok, pemeras atau tindak kriminal lainnya. boleh melaporkan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan dengan terang-terangan ini, tapi tidak yang sembunyi-sembunyi.


Keenam; Menunjukan seseorang yang bertanya. Jika orang yang ditanyakan itu terkenal dengan julukan seperti, Al-A’ma (si buta), Al-A’raj (si pincang), Al-Qashir (cebol), atau Al-Aqhta (si buntung), maka boleh menyebutkan dengan nama-nama julukan ini. Tetapi haram jika menyebutkannya dengan tujuan menghina. Namun, bila memungkinkan menggunakan penyebutan baik yang lain, maka itu lebih utama.[1]

Demikian penjelasan Imam An-Nawawi yang kami dapati di dalam Kitab Syarah Muslimnya yang terkenal—Semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan kita.

Qatadah berkata, “Sebagaimana salah seorang dari kalian terlarang untuk memakan daging saudaranya yang sudah mati, maka sesungguhnya dia pun terlarang untuk menggunjing saudaranya yang masih hidup. Memakan daging disamakan dengan menggunjing.”[Al-Jami’li-Ahkaam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi. QS.Al-Hujurat,49: 12. Jilid 17, Hal.85.]


sumber fajarcoid

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah