Minggu, 29 Agustus 2021

Inilah Salah Satu Ciri Wanita Penghuni Surga Dalam Hadits

 

Academic media angels can wing it to 24/7th heaven | THE Opinion 

Dalam hadits rasul saw, Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku,
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”

Aku menjawab, “Ya”

Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’

Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’

Maka Nabi pun mendoakannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Betapa rindunya hati ini kepada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Dan subhanallah! Ada seorang wanita yang berhasil meraih kedudukan mulia tersebut. Bahkan ia dipersaksikan sebagai salah seorang penghuni surga di kala nafasnya masih dihembuskan. Sedangkan jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.

Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha bin Abi Rabah, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Wanita hitam itulah….dst”

Wahai saudariku, tidakkah engkau iri dengan kedudukan mulia yang berhasil diraih wanita itu? Dan tidakkah engkau ingin tahu, apakah gerangan amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga?

Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam?

Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam.

Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya. Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperlihatkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya.

Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, amalan-amalan shalihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia pun akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.

Bagaimanakah dengan wanita zaman sekarang yang sibuk memakai kosmetik ini-itu demi mendapatkan kulit yang putih tetapi enggan memutihkan hatinya? Mereka begitu khawatir akan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi tak khawatir bila iman dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan – semoga Allah Memberi mereka petunjuk -.

Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka saudariku, seperti apapun rupamu, seperti apapun fisikmu, janganlah engkau merasa rendah diri. Syukurilah sebagai nikmat Allah yang sangat berharga. Cantikkanlah imanmu. Cantikkanlah hati dan akhlakmu.

Wahai saudariku, wanita hitam itu menderita penyakit ayan sehingga ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau agar berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Seorang muslim boleh berusaha demi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Asalkan cara yang dilakukannya tidak melanggar syariat. Salah satunya adalah dengan doa. Baik doa yang dipanjatkan sendiri, maupun meminta didoakan orang shalih yang masih hidup. Dan dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keistimewaan berupa doa-doanya yang dikabulkan oleh Allah.

Wanita itu berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.”
Saudariku, penyakit ayan bukanlah penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita penyakit ayan karena banyak anggota masyarakat yang masih menganggap penyakit ini sebagai penyakit yang menjijikkan.

Tapi, lihatlah perkataannya. Apakah engkau lihat satu kata saja yang menunjukkan bahwa ia benci terhadap takdir yang menimpanya? Apakah ia mengeluhkan betapa menderitanya ia? Betapa malunya ia karena menderita penyakit ayan? Tidak, bukan itu yang ia keluhkan. Justru ia mengeluhkan auratnya yang tersingkap saat penyakitnya kambuh.

Subhanallah. Ia adalah seorang wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya dan ia berusaha melaksanakannya meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang di saat sehat pun dengan rela hati membuka auratnya???

Saudariku, dalam hadits di atas terdapat pula dalil atas keutamaan sabar. Dan kesabaran merupakan salah satu sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar.”

Wanita itu lebih memilih bersabar walaupun harus menderita penyakit ayan agar bisa menjadi penghuni surga. Salah satu ciri wanita shalihah yang ditunjukkan oleh wanita itu lagi, bersabar menghadapi cobaan dengan kesabaran yang baik.

Saudariku, terkadang seorang hamba tidak mampu mencapai kedudukan kedudukan mulia di sisi Allah dengan seluruh amalan perbuatannya. Maka, Allah akan terus memberikan cobaan kepada hamba tersebut dengan suatu hal yang tidak disukainya. Kemudian Allah Memberi kesabaran kepadanya untuk menghadapi cobaan tersebut. Sehingga, dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan, sang hamba mencapai kedudukan mulia yang sebelumnya ia tidak dapat mencapainya dengan amalannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika datang suatu kedudukan mulia dari Allah untuk seorang hamba yang mana ia belum mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah akan menyabarkannya hingga mencapai kedudukan mulia yang datang kepadanya.” (HR. Imam Ahmad. Dan hadits ini terdapat dalam silsilah Al-Haadits Ash-shahihah 2599)

Maka, saat cobaan menimpa, berusahalah untuk bersabar. Kita berharap, dengan kesabaran kita dalam menghadapi cobaan Allah akan Mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita ke kedudukan mulia di sisi-Nya.

Lalu wanita itu melanjutkan perkataannya, “Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar auratnya tidak tersingkap. Wanita itu tetap menderita ayan akan tetapi auratnya tidak tersingkap.

Wahai saudariku, seorang wanita yang ingatannya sedang dalam keadaan tidak sadar, kemudian auratnya tak sengaja terbuka, maka tak ada dosa baginya. Karena hal ini di luar kemampuannya. Akan tetapi, lihatlah wanita tersebut. Bahkan di saat sakitnya, ia ingin auratnya tetap tertutup. Di saat ia sedang tak sadar disebabkan penyakitnya, ia ingin kehormatannya sebagai muslimah tetap terjaga. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang secara sadar justru membuka auratnya dan sama sekali tak merasa malu bila ada lelaki yang melihatnya? Maka, masihkah tersisa kehormatannya sebagai seorang muslimah?

Saudariku, semoga kita bisa belajar dan mengambil manfaat dari wanita penghuni surga tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Marji’:
Syarah Riyadhush Shalihin (terj). Jilid 1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Cetakan ke-3. Penerbit Darul Falah. 2007 M., Muslimah or id

Jumat, 27 Agustus 2021

Download Ebook Yesus (Nabi Isa AS) Akan Kembali ke Dunia




Berbagai hadits menyebutkan bahwa nabi isa as. atau disebut yesus kaum nsrani akan kembali lagi pada ahir zaman, buku ini akan menjelaskan kepada anda :


DOWNLOAD EBOOK  

Iniilah Orang Yang Sholatnya Tidak Diterima Menurut Syeh Ali Jaber

 


Di antara orang-orang yang sholat, ternyata ada golongan yang sholatnya tidak diterima oleh Allah SWT.Hal ini dijelaskan oleh Almarhum Syekh Ali Jaber dalam sebuah sesi ceramah yang diunggah oleh kanal YouTube religiOne pada 30 Juli 2019 lalu.Dalam pemaparannya, Almarhum Syekh Ali Jaber mengatakan ada dua golongan orang yang sholat, yaitu orang yang hanya mengerjakan sholat dan orang yang mendirikan sholat.


"Ada dua orang sholat di shaf pertama. Sama-sama rukuk, sama-sama sujud, sama-sama membaca surah Al Quran. Tetapi, satu diterima oleh Allah, satu tidak diterima oleh Allah," tutur Syekh Ali Jaber.Menurut Syekh Ali Jaber, orang yang diterima Allah adalah yang sholat dengan hatinya. Sementara, yang ditolak adalah orang yang sholat hanya dengan fisik atau badannya saja.


"Makanya kita melihat, orang yang sholat dengan hatinya nikmat sholatnya. Bisa tenang bacaannya, tenang rukuknya, tenang sujudnya," tambah sang syekh.


Hal tersebut tentunya berbeda dengan orang-orang yang terburu-buru dalam melaksanakan sholat.Syekh Ali Jaber kemudian menceritakan pengalamannya menjumpai orang yang sholat dengan begitu terburu-buru. Kala itu, Syekh Ali tengah duduk seusai mengerjakan sholat tahiyatul masjid."Saya melihat seorang baru masuk dan dia juga tahiyatul masjid. Saya melihat gerakan sholatnya, naudzubillah, luar biasa cepat," kata Syekh Ali Jaber.


Sang syekh kemudian mencoba membandingkan durasi waktu orang tersebut sholat dengan bacaan Al Fatihah."Saya baca Al Fatihah. Saya baru selesai 'waladh dhollin, aamiin', dia sudah sampai ke tahiyat. Padahal saya baru selesai surah Al Fatihah," ujarnya.Syekh Ali Jaber menuturkan bahwa hal seperti ini sering terjadi. Banyak orang yang seolah-olah berlomba siapa yang bisa sholat paling cepat, sehingga sholat pun tak lagi terasa nikmat.


"Yang dikejar hanya seminar khusyuk dalam sholat, latihan khusyuk dalam sholat," kata Syekh Ali Jaber.Pendakwah kelahiran Madinah tersebut kemudian menuturkan bahwa sebenarnya tidak ada perintah dalam Al Quran maupun dari Rasulullah untuk sholat dengan khusyuk.Sementara itu, sifat khusyuk menurut Syekh Ali Jaber adalah sifat orang mukmin yang melaksanakan sholat tuma'ninah.Sang syekh kemudian menceritakan sebuah kisah dari zaman Rasulullah SAW.Kala itu, ada seseorang datang ke masjid dan sholat tahiyatul masjid. Selesai sholat, dia menghampiri Rasulullah dan hendak berjabat tangan.


Namun, Rasulullah tidak menjawab. Bahkan Rasulullah berkata, "Sholatlah karena kamu belum sholat."Orang tersebut kemudian pergi ke depan dan sholat lagi. Selesai sholat dia pun kembali menemui Rasulullah.Sekali lagi Rasulullah tidak menjawab jabat tangannya dan berkata, "Sholatlah dulu karena kamu belum sholat."Hal tersebut berulang hingga tiga kali. Akhirnya orang itu berkata, "Mohon maaf Ya Rasulullah, saya tidak tahu bagaimana selain ini sholat saya."


Raulullah lalu menjawab, "Kalau berdiri, berdiri tenang, tuma'ninah."Syekh Ali Jaber mengatakan bahwa tuma'ninah merupakan salah satu rukun dalam sholat."Tidak sah sholat seseorang tanpa Al Fatihah. Sama, tidak sah sholat seseorang tanpa tuma'ninah," tuturnya.


Syekh Ali Jaber menyarankan agar saat sholat seseorang berusaha tenang dalam hal bacaan, rukuk, serta sujudnya."Wallahi akan terasa nikmat. Dari hasil ketenangan dan upaya serta ikhtiar kita, akan muncul rasa khusyuk," ujar sang syekh.Syekh Ali Jaber menambahkan bahwa khusyuk bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan sudah ada di dalam hati. Tinggal bagaimana cara seseorang mengelola dan mengembangkannya.Itulah penjelasan Syekh Ali Jaber mengenai sholat yang tidak diterima oleh Allah SWT. Semoga bermanfaat.***

(pikiranrakyat)

Kamis, 26 Agustus 2021

Kisah Kebenaran Syeh Siti Jenar, Apakah dia kafir?



seorang kawan berbicara bahwa ada konsep kafir ‘indah-Allah, muslim ‘inda an-anasai, dan sebaliknya. Dengan memberi contoh Syekh Siti Jenar dihukum Walisongo karena konsep wihdatul wujudnya. Tetapi ketika beliau meninggal, darah beliau menulis laa ilaaha illa Allah. Bagaimana menurut pandangan salaf?

Dari pertanyaan di atas ada beberapa yang yang perlu kami jawab:

Pertama. Kafir inda-Allah, muslim inda an-anasi, artinya kafir di sisi (menurut) Allah, muslim menurut manusia.Kalau yang dimaksudkan konsep ini, bahwa “bisa jadi seseorang itu pada hakikatnya kafir, yaitu di sisi Allah dia kafir karena Allah mengetahui isi hatinya yang kafir, tetapi manusia – karena tidak mengetahui isi hatinya – menganggapnya sebagai muslim, karena secara lahiriyah ia melakukan amalan-amalan Islam,” maka memang benar.

Contohnya ialah orang-orang munafik. Mereka menampakkan iman, dan menyembunyikan kekafiran. Maka, selama kekafiran mereka ini tidak nampak, mereka tetap dihukumi sebagai muslimin oelh manusia, walaupun di sisi Allah mereka adalah orang-orang kafir.

Demikian pula sebaliknya, kafir inda an-anasi, muslim inda-Allah. Yang artinya kafir menurut manusia. Muslim menurut Allah. Jika yang dimaksud adalah, “bisa jadi seseorang itu dianggap kafir oleh manusia, adapun di sisi Allah dianggap muslim”, maka itu juga benar.

Contohnya ialah Abu bakar As Shiddiq dan Umar bin Al Khaththab. Walaupun ada sebagian manusia – seperti orang-orang Rafidhah – yang menganggap keduanya adalah kafir. Bahkan keduanya adalah calon penghuni surga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam banyak hadits-hadits yang shahih.

Tetapi, contoh yang diberikan oleh kawan antum tersebut tidak benar. Sebagaimana akan kami jelaskan insyaAllah.

Kedua. Istilah Wali Songo (Wali Sembilan) yang dikenal umat Islam di negeri ini. Atau secara khusus di Jawa, merupakan istilah yang janggal ditinjau dari agama Islam. Karena istilah wali di dalam agama Islam, dapat berarti wali Allah (kekasih Allah), atau wali setan (kekasih setan). Maka, yang dimaksudkan dengan istilah Wali Songo pastilah wali Allah. Konon – menurut sejarah – mereka dianggap sebagai para penyebar agama Islam. Sedangkan wali Allah itu tidak terbatas. Bukan hanya sembilan, atau sepuluh. Karena setiap orang yang beriman dabertakwa adalah wali Allah. Firman-Nya.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang berimand an mereka selalu bertaqwa. Bagi smereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalima-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus: 62-64)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika telah diketahui bahwa di kalangan manusia itu ada wali-wali Ar-Rahman (kekasih-kekasih Allah) dan ada wali-wali setan (kekasih-kekasih setan), maka wajib dibedakan antara kedua golongan ini. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah membedakan antara keduanya. Sesungguhnya wali-wali Allah hanyalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu , tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62,63)

Dengan demikian, seorang wali pasti mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan amalan-amalan yang wajib dan yang sunnah (mustahab).

Sehingga orang kafir, atau orang yang tidak mengakui kewajiban mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sama sekali tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Demikian juga orang gila, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Karena tidak ada sifat imam dan takwa padanya. Walaupun dari orang-orang tersebut muncul perkara-perkara yang aneh dan menakjubkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seorang gila, maka keimanan dan ketakwaan darinya tidak sah. Demikian juga taqarrub kepada Allah (amalan-amalan ketaatan yang mendekatkan kepada Allah) berupa kewajiban-kewajiban dan nafilah-nafilah (sunnah-sunnah; perkara-perkara yang disukai) yang dia lakukan itu tidak sah. Maka, mustahil ia menjadi wali Allah. Sehingga seorangpun tidak boleh meyakininya sebagai wali Allah. Apalagi jika argumen keyakinan itu – mungkin berupa mukasyafah (penyingkapan sesuatu yang tersembunyi) – yang didengar darinya, atau berupa satu jenis dari tindakan, seperti dia melihatnya (orang yang dianggap wali) menunjuk kepada seseorang, lalu ia mati atau jatuh. Karena telah diketahui, bahwa orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dari kalangan orang-orang musyrik dan ahlul kitab memiliki mukasyafah-mukasyafah dan tindakan-tindakan yang berasal dari syetan.

Ketiga. Bahwa riwayat yang berkaitan dengna para wali songo kita mendapatkan sumbernya dari cerita mulut ke mulut, atau dari buku-buku yang sumbernya juga tidak jelas. Sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi – wallahu a’lam – memang dahulu ada sembilan tokoh da’i Islam yang besar jasanya terhadap perkembangan Islam di Jawa; yang kemudian dikenal dengan istilah wali songo tersebut. Tetapi kisah mereka tidak diketahui secara ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, merupakan kesalahan besar menjadikan perbuatan para Wali Songo – dengan sumber sebagaimana di atas – sebagai rujukan di dalam beragama. Seandainya kisah mereka itu benar, tetap tidak dapat dijadikan rujukan di dalam masalah agama. Karena sesungguhnya agama ini sudah sempurna semenjak ditinggal wafat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak memerlukan tambahan apapun, dan dari siapapun. Karena sesungguhnya al-haq itu diambil dengan bersumber dari Al-Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

Keempat. Seandainya kisah yang sering kita dengan itu benar. Yaitu kisah hukuman mati yang dilakukan oleh wali songo terhadap Syekh Siti Jenar karena dia berkeyakinan withdatul wujud. Dan seandainya – sekali lagi seanadainya – setelah dilakukan hukuman tersebut – konon – darah Syekh Siti Jenar membentuk tulisan laa ilaaha illa Allah, maka – jika kisah itu benar – wali songolah yang berada di atas al haq. Karena keyakinan wihdatul wujud adalah keyakinan sesat dan bathil. Bahkan keyakinan yang kafir, melebihi keyakinan Yahudi dan Nashara.

Kelima. Perlu diketahui, bahwa diantara tokoh wihdatul wujud yang paling terkenal yaitu Ibnu ‘Arabi. Dia bersama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha-i Al Hatimi Al Andalusi Al Mursi. Dia dikenal dengan nama Ibnu Al ‘Arabi Ash Shufi. Atau Ibnu ‘Arabi, tanpa huruf alim dan lam, untuk membedakan dengan Al Qadhi Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki, dengan alif lam.

Ibnu ‘Arabi Ash Shufi ini, yang asalnya dari Andalus (sekarang Spanyol) pernah tinggal di Makkah beberapa tahun. Menyusun kitab yang dia beri nama Al Futuhat Al Makiyyah. Dia juga punya karya lain yang bernama Fushushul Hikam. Kedua kitab ini berisikan berbagai kesesatan yang sangat jauh. Dan sampai sekarang masih dicetak dan tersebar.

Di dalam kitab Al Futuhat Al Makiyyah tersebut, Ibnu ‘Arabi Ash Shufi mengaku mengeluarkan kitabnya tersebut dengan izin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat mimpinya. Namun kebanyakan isi kitab tersebut kontradiksi dengan isi Al-Quran.

Di antara – kekafiran nyata – yang ia katakan di dalamnya:
Bahwa Nabi Adam dengan Allah kedudukannya seperti biji mata dengan mata.
Bahwa Al Haq (Allah) Yang Mahasuci adalah makhluk yang disamakan dengan lainnya.
Bahwa kaum Nabi Nuh jika meninggalkan penyembahan terhadap patung-patung orang-orang shalih; Wudd, Suwa’, dan lainnya, niscaya mereka talah bodoh terhadap Al Haq (Allah) lebih besar kebodohannya dari apa yang mereka tinggalkan. Maksudnya jika kaum Nuh bertauhid, mereka lebih bodoh, karena jika berbuat syirik, maka yang disembah juga Allah.
Bahwa Allah berada pada seluruh yang disembah oleh manusia. Hal itu diketahui oleh orang ‘alim, tetapi tidak diketahui oleh orang yang bodoh. Karena orang yang ‘alim mengetahui, siapa saja yang sembah, dan dalam bentuk apa saja, maka Allah nampak padanya.
Bahwa kaum Nabi Hud yang disiksa di dalam neraka menjadi sangat dekat dengan Allah, sehingga panas Jahannam itu hilang dari mereka. Bahkan mereka meraih kenikmatan berdekatan dengan Allah. Hal itu mereka dapatkan, karena sewaktu di dunia mereka berada di atas jalan yang lurus.

Dan lain-lain perkataannya. Semua perkataan di atas itu merupakan kekafiran yang besar, lebih besar kekafiran dan kemusyrikannya daripada orang-orang Yahudi, Nashara, orang-orang musyrik Arab dan lainnya. Seluruh pendapat Ibnu Arabi di atas dihasilkan oleh sumber yang sama, yaitu keyakinan wihdatul wujud.

Ada banyak orang shalih pada zaman Ibnu Arabi dan sesudahnya memuji Ibnu Arabi. Memang ia dikenal dengan kesungguhan dan ibadahnya. Orang-orang yang memuji itu tidak mengetahui kemungkaran perkataan-perkatan Ibnu ‘Arabi, karena sibuk dengan ibadah mereka.

Namun sebaliknya, banyak pula para ulama yang mencelanya (Ibnu Arabi Ash Shufi), menyatakan ia dusta, sesat, bahkan mengkafirkannya. Di antara mereka adalah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H).
Al Qadhi Badruddin bin Jama’ah (wafat th. 733 H).
Al Qadhi Sa’duddid Al Haritsi; hakim madzhab Hanabilah di Kairo (wafat th. 711 H)
Khatib Qal’ah, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Yusuf Al Jazari Asy-Syafi’i (wafat th. 711 H)
Al Qadhi Zainuddin Al Kattani Asy Syafi’i (wafat th. 738 H).
Syaikh Nuruddin Al Bakari Asy Syafi’i (wafat th. 727 H)
Syaikh Syafaruddin Isa Az Zawawi (wafat th. 743 H)
Syaikhul Islam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Raslan bin Nashiir Al Bulqini Asy Syafi’i (wafat th. 805 H).
Al Hafidz Al Qadhi Syihabbudin Abl Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i (wafat th. 852 H), dikenal dengan nama Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Al ‘Allamah Abu Abdullah Muhammad bin Arafah Al Warghani At Tunisi Al Maliki (wafat. Th. 803 H)
Qadhi Mestir, Abu Zaid Abdurahman bin Muhammad Al Hadharami Al Maliki (wafat th. 808 H), dikenal dengan nama Ibnu Khaldun.

ALASAN-ALASAN PENGKAFIRAN

Secara ringkas di antara alasan-alasan para ulama yang mengkafirkan keyakinan wihdatul wujud (bersatunya Dzat Allah dengan makhluk):

Pertama. Berarti – menurut mereka – segala sifat yang ada pada seluruh makhluk, maka yang memiliki sifat itu adalah Allah.

Kedua. Berarti Fir’aun mati dalam keadaan iman, sebagaimana dikatakan Ibnu Arabi. Karena Fir’aun menyembah selain Allah, yang hal itu mereka anggap sama dengan menyembah Allah. Padahal telah diketahui secara pasti keyakinan kaum muslimin, Yahudi dan Nashara, bahwa Fir’aun adalah makhluk yang paling kafir.

Ketiga. Salafush Shalih dan imam-imam umat ini telah sepakat, bahwa Al Khaliq (Allah) terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Pada Dzat Allah tidak ada sedikitpun dari makhluknya, sebagaimana pada mahkluk-Nya tidak ada sedikitpun dari Dzat-Nya. Salafush Shalih mengkafirkan firqah Jahmiyyah yang menyatakan, bahwa Allah bertempat di segala tempat. Karena bagaimana mungkin Allah berada di dalam perut, kebun, tempat buang hajar, dan lainnya?! Allah Mahatinggi dan Mahaagung dari hal-hal seperti itu. Kemudian, tentulah wihdatul wujud lebih kafir. Karena menganggap Allah adalah wujud perut, kebun, tempat buang hajat, barang-barang najis dan kotor.

Keempat. Orang-orang wihdatul wujud menganggap Dzat Allah adalah dzat seluruh makhluk. Berarti mereka mensifati Allah dengan seluruh kekurangan dan cacat yang dimiliki oleh seluruh orang durhaka, orang kafir, seluruh syetan, seluruh binatang buas, seluruh ular, dan lainnya! Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kedustaan dan kesesatan mereka.

Kelima. Orang-orang Nashara menjadi kafir karena menuhankan Nabi Isa ‘alaihissalam, Yaitu, mereka menganggap Allah bersatu dengan Nabi ‘isa ‘alaihissalam dan sifat-sifat nabi Isa ‘alaihissalam ada pada sifat Allah. Maka, kekafiran orang-orang wihdatul wujud (walaupun mereka mengaku Islam, serta mengaku telah mencapai hakikat dan ma’rifat!) lebih besar daripada Nashara. Karena mereka menganggap, bahwa seluruh sifat makhluk ada pada Allah.

Keenam. Mereka menggap memiliki hakikat tauhid, karena meyakini wujud yang ada hanya satu. Mereka menyamakan antara Al Khaliq (Allah) dengan makhluk; halal dengan haram, khmar dengan air; babi dengan kambing; istri dengan anak perempuan; dan seterusnya. Maka sesungguhnya kekafiran orang-orang wihdatul wujud adalah puncak dan gudang kekafiran. Bahkan kekafiran seluruh orang kafir – dengan jenis kekafiran apapun – adalah salah satu bagian dari kekafiran mereka.

Ketujuh. Kaum Muslimin, Yahudi, dan Nashara telah mengetahui, bahwa di dalam agama Islam, jika ada seseorang mengatakan tentang orang lain ‘dia adalah satu bagian Allah.’ Maka ia telah kafir. Maka bagaimanakan kejinya kekafiran orang-orang yang mengatakan, bahwa seluruh manusia adalah Allah! Bahkan seluruh binatang, tumbuhan, tempat, benda, dan semua makhluk ini adalah Allah?!

Kedelapan. Yahudi dan Nashara mengkafirkan orang-orang yang menyembah patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang menyembah patung sama dengan menyembah Allah. Maka tidak ada keraguan, bahwa kekafiran mereka – walaupun mengaku Islam – lebih dari kafir daripada Yahudi dan Nashara,

Kesembilan. Orang-orang musyrik menyembah sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (Lihat Az Zumar: 40-42). Dan mereka masih meyakini, bahwa Allah adalah pencipta langit, bumi, dan patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang menyembah patung sama dengan menyembah Allah; patung sama dengan Allah. Jelaslah kekafiran mereka.

Kesepuluh. Telah diketahui secara pasti dalam agama Islam, bawha kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun serta kaumnya disiksa di akhirat. Allah melaknat dan murka terhadap mereka. Barangsiapa memuji mereka, menganggap dekat dengan Allah, dan mendapatkan kenikmatan, maka ia lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara. Dan lain-lain hujjah yang disampaikan para ulama.

Inilah sedikit penjelasan tentang ajaran wihdatul wujud yang sangat sesat dan menyesatkan. Tetapi masih banyak di antara kaum muslimin yang menganggapnya sebagai kebenaran sejati. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita dari seluruh kesesatan.

Sumber: Majalah As-Sunnah Ed 10 Tahun VI 1423 H/2002M
Yufidia.com



Download Ebook Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua) Oleh Yazid Al Jawas

 Ebook ini merupakan ebook yang bermanfaat bagi anda mempelajari tata cara berbakti kepada kedua orang tua. merupakan karya ust Yazid jawas yang terkenal




Download Ebook Nahjul Balaghah Kotbah Ali ra.

Nahj al-Balagha.jpg


Ebook ini merupakan kumpulan dari kotbah ali bin abi thalib ra. 

ebook ini berformat exe hanya bisa dibuka di pc 

DOWNLOAD EBOOK EXE

Minggu, 22 Agustus 2021

Tentang Shalat Jamak

 



Menjama' dua shalat dilakukan apabila kita sedang dalam perjalanan, karena perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhsah dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan rahmat atas mereka. Di antara rukhsah itu ialah diperbolehkannya menjama' bagi orang yang mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat tapi mengalami satu dua hambatan dalam perjalanan. Diperbolehkan baginya menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjama' shalat Maghrib dengan Isya' dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syari'at yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah agar tidak ada keberatan dalam agama.[dinukil dari Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, hal 278] Kemudian, 

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan kedudukan seseorang yang sedang dalam perjalanan kemudian siggah untuk semnetara waktu di suatu kota : "Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak diperkenankan menjama' "[lengkapnya penjenjelasan tersebut bisa anda baca artikel dibawah inidengan judul Jama' Taqdim]. Adapun kedudukan seseorang apakan dia termasuk musafir atau mukim, Syaikh Al-Albani menjelaskannya sebagai berikut : Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Jika seseorang tinggal di suatu negeri selama empat hari, apakah ia harus menyempurnakan shalat ataukah meng-qashar-nya .? Jawaban. Empat hari itu tidak ada hubungannya dengan niat mukim atau musafir. Tetapi mukim atau musafir itu tergantung dengan niat seorang mukallaf dan keadaannya. Orang yang datang di suatu negeri untuk berdagang dan memperkirakan bahwa perdangannya membutuhkan waktu empat hari maka orang itu tidak bisa disebut mukim. Tergantung bagaimana niatnya (kalau dia tidak berniat mukim, maka dia harus meng-qashar shalatnya). [Fatwa-Fatwa AlBani, hal 80 Pustaka At-Tauhid] Sedangkan untuk masalah Jama',

 penjelasannya akan saya salin dari kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372 penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur JAMA' TAQDIM "Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya', dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya' dan melakukan shalat Isya' bersama Maghrib". Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa'id : " Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa'ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu'adz bin Jabal, secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar :"Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Qutaibah saja". Saya menilai : "Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya". 

 Di tempat lain At-Tirmidzi juga berkata : "Hadits ini hasan shahih". Saya berpendapat : Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada 'illat yang tidak baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa 'Al-Ghalil (571). Di sana saya menyebutkan mutabi' (hadits yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan keshahihannya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi. "Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata : 'Kemudian beliau mengakhirkan (jama' takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian". 

 Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-Nasa'i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain : "Kemudian saya berkata : 'Apa maksudnya demikian ?" Dia berkata : Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya". Kandungan Hukumnya Dalam hadits ini terdapat beberapa masalah. 1. Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan 'jama' shuwari' yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai mendekati waktu Ashar demikian pula Maghrib dan Isya'. pendapat ini telah dibantah oleh jumhurul ulama dari berbagai segi. Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama' secara dhahir. Kedua : Tujuan disyariatkan jama' adalah untuk mempermudah dan menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan jama' dalam pengertian 'shuwari' masih mengandung kesulitan. Ketiga : Sebagian hadits tentang jama' jelas menyalahkan pendapat mereka itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi. "Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama' (mengumpulkan) keduanya". Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainya. Keempat : Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadits Mu'adz berikut ini. "Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan menyegerakan Ashar kepada Dzuhur". Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung. 2. Sesungguhnya soal jama' (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama takhir, boleh juga jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441). 3. Sesungguhnya diperbolehkan jama' pada waktu turunnya (dari kendaraan) sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. 


Imam Syafi'i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan : "Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata 'dakhala' dan 'kharaja' (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama' pada saat turun dan pada saat berjalan'. Saya berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma'ad (1/189) menuturkan : "Bukanlah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melakukan jama' sambil naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama' itu harus pada waktu dia turun". Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali. Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam Al-Muwatha', Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang manakala kita ingat bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan dalam At-Ta'liqat Al-Jiyad 'Ala Zadil Ma'ad. 

 Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul Islam dalam Majmu'atur Rasail wal-Masa'il (2/26-27) mengatakan : "Pengertian jama' itu ada tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama. Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama' sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jama' di Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama' pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jama' di Arafah. 


Sungguh hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu'adz ini). Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat Maghrib dan Isya' sekalian. Sesungguhnya kala 'ad-dukhul' (masuk) dan 'khuruj' (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik. "Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada'. Tidak ada kasus jama' darinya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama' di sana. Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama' dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak men-jama' . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama'. Dan juga menunjukkan bahwa jama' bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. 


Maka seorang musafir bilamana memerlukan jama' maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya'. Kemudian dia turun pada waktu Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama' taqdim Isya dengan Maghrib lalu sesudah itu bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam dalam bepergiannya. Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan men-jama'. 


Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak diperkenankan men-jama'. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai. Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat perjalanan".

Tauhid Uluhiyah Dan Penjelasannya

Tauhid uluhiyah adalah menujukan segala macam ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah merupakan hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)


Karena demikian pentingnya masalah ini maka dakwah semua rasul adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari sesembahan yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepada-Nya bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya’: 25)


Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Tauhid uluhiyah adalah kewajiban yang pertama dan terakhir dalam agama ini, batin dan lahirnya. Tauhid uluhiyah1 adalah awal dakwah para rasul.” (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 22)


Karena masalah uluhiyah ini adalah permasalahan yang paling penting maka para ulama Ahlus Sunnah banyak membahas permasalahan ini. Bahkan merupakan satu ciri dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah.


Di antara sekian ulama Ahlus Sunnah yang banyak membahas permasalahan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Dalam tulisan ini kami akan sebutkan sebagian kecil pandangan-pandangan beliau tentang masalah uluhiyah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Menciptakan Kita untuk Beribadah kepada-Nya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
‘Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (Adz-Dzariyat: 56) [Lihat Majmu’ Fatawa, 1/4]

Ibadah adalah Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Hamba-Nya
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya ini adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-Nya, yaitu hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan Mu’adz radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya):
“Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Apakah kau tahu apa hak hamba atas Allah jika mengamalkannya?” Aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak mereka tidak akan disiksa.” (Majmu’ Fatawa, 1/23)

Pengertian Ibadah

Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Ibadah adalah satu nama yang mencakup semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Majmu’ Fatawa, 10/149)
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui para Rasul-Nya.”

Syarat Diterimanya Ibadah
Beliau rahimahullahu berkata: “Ibadah dibangun di atas syariat dan ittiba’, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan. Karena Islam dibangun di atas dua perkara:
1. Kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Kita beribadah kepada-Nya dengan syariat yang disyariatkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ. إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat sedikitpun mengindarkan kamu dari siksaan Allah.” (Al-Jatsiyah: 18-19)


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)


Tidak boleh seorangpun beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Rasul-Nya, baik perkara yang wajib atau sunnah. Tidak boleh kita beribadah kepada-Nya dengan perkara-perkara bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 1/80)
Beliau rahimahullahu berkata: “Agama Islam dibangun di atas dua ushul (pokok): Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan beribadah kepada-Nya dengan apa yang telah disyariatkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 1/365)

Ibadah Badan yang Paling Afdhal adalah Shalat
Beliau rahimahullahu berkata: “Ibadah badan yang paling mulia adalah shalat, sedangkan ibadah harta yang paling mulia adalah berkurban. Apa yang terkumpul bagi seorang hamba dalam shalat tidak terkumpul pada selainnya. Dan apa yang terkumpul baginya dalam menyembelih kurban –jika disertai iman dan keikhlasan– karena keyakinan kuat dan baik sangka merupakan perkara menakjubkan. Oleh karena itu beliau (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.) adalah seorang yang banyak shalat dan banyak berkurban.” (Lihat Fathul Majid hal. 126)

Siapakah Muwahhid?
Beliau rahimahullahu berkata: “Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan ahlul kalam dan orang sufi. Di mana mereka menyangka barangsiapa bisa menetapkan rububiyah dengan dalil maka telah menetapkan puncak tauhid. Kalau mereka telah bersaksi dengan tauhid ini dan mencurahkan segala upaya berarti dia telah mengorbankan dirinya dalam puncak tauhid!
Karena, walaupun seseorang telah meyakini apa yang merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa sifat-sifat-Nya dan menyucikannya dari yang disucikan dari-Nya serta meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pencipta segala sesuatu, dia belumlah dianggap sebagai muwahhid hingga bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang berhak diibadahi, serta senantiasa beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Fathul Majid hal. 15-16)

Kewajiban Pertama
Beliau rahimahullahu berkata: “Telah diketahui dengan pasti dalam agama rasul dan telah disepakati oleh umat, bahwa pokok Islam dan perkara pertama yang seorang diperintah dengannya adalah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Dengan inilah seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi teman, orang yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga….” (Lihat Fathul Majid hal. 73)

Macam-Macam Syirik
Beliau rahimahullahu berkata: “Syirik ada dua macam: syirik besar dan kecil. Barangsiapa bersih dari keduanya, maka wajib untuknya surga. Barangsiapa mati dengan membawa syirik besar (tidak bertaubat darinya, pent.) pasti masuk neraka.” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 72)

Tidak Boleh Meminta Pertolongan kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Para imam telah menegaskan –seperti Ahmad dan lainnya– bahwasanya tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk. Ini di antara perkara yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk. Mereka berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau minta perlindungan dengan kalimatullah dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya….” (Lihat Fathul Majid hal. 147)

Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan dalam Mengagungkan)
Beliau rahimahullahu berkata: “Jika di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam namun lepas darinya padahal telah melakukan ibadah yang besar, ketahuilah di zaman inipun ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan As-Sunnah namun lepas dari Islam karena beberapa sebab. Di antaranya, ghuluw terhadap sebagian tokoh mereka. Bahkan ghuluw terhadap Ali bin Abu Thalib, bahkan kepada Al-Masih ‘Isa q. Semua yang berbuat ghuluw kepada nabi atau orang shalih serta mempersembahkan kepadanya satu macam ibadah, seperti berkata: “Wahai sayidku fulan tolonglah aku”, “Hilangkanlah kesusahanku”, “Berilah rizki kepadaku”, atau “Aku dalam jaminanmu”, dan semisalnya, semua ini adalah kesyirikan dan kesesatan. Pelakunya diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat maka dibunuh (oleh pemerintah muslim karena telah terjatuh dalam kemurtadan, pent.).” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182, Majmu’ Fatawa, 3/383)

Hukum Membangun Masjid di atas Kuburan
Beliau rahimahullahu berkata: “Adapun membangun masjid di atas kuburan, semua kelompok telah menegaskan larangannya dengan merujuk hadits-hadits yang shahih. Ulama mazhab Hambali dan selain mereka dari murid-murid Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah juga menegaskan keharamannya.”
Kemudian beliau berkata: “Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para nabi dan orang shalih atau para raja dan selainnya harus dibersihkan dengan merobohkannya atau dengan cara lainnya. Ini, yang saya tahu, termasuk perkara yang tidak diperselisihkan kalangan para ulama yang terkenal.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim)
Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah ini: “Aku lebih cenderung kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat).” Kemudian beliau membawakan hadits: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau rahimahullahu berkata: “Aku telah menyaksikan pemerintah menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut tidak dicela para fuqaha ketika itu.” (Lihat Al-Umm)


Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullahu berkata –beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i–: “Wajib bersegera menghancurkan kuburan-kuburan yang dibangun dan dijadikan masjid serta menghancurkan kubah-kubah yang berada di atas kubur, karena hal itu lebih mengandung mudarat dari masjid dhirar. Karena hal itu dibangun di atas maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau telah melarangnya dan memerintahkan menghancurkan kuburan-kuburan yang ditinggikan.” (Lihat Mukhalafah Ash-Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i hal. 67-70)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Wajib merobohkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, karena telah dibangun di atas maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Fathul Majid hal. 214)

Hukum Sembelihan untuk Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ketika menjelaskan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
“Apa yang disembelih untuk selain nama Allah.” (Al-Baqarah: 173)


Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Yang tampak dari ayat di atas, apa yang disembelih untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti dikatakan: sembelihan ini untuk ini. Jika ini yang dimaksudkan maka hukumnya sama saja baik dia lafadzkan atau tidak. Haramnya sembelihan seperti ini lebih jelas dari keharaman sembelihan untuk dimakan dan diucapkan ketika menyembelihnya dengan nama Al-Masih atau lainnya.” (Fathul Majid, hal. 127-128)

Doa Ada Dua Macam: Doa Ibadah dan Doa Mas’alah (Permohonan)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Semua doa ibadah mengharuskan adanya doa permohonan, dan semua doa permohonan mengandung doa ibadah.” (Fathul Majid hal. 150)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan: “Doa permohonan adalah meminta sesuatu yang bermanfaat bagi yang berdoa, baik untuk mendapatkan satu manfaat yang diinginkan atau untuk dihilangkan darinya kesusahan. Adapun doa ibadah adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai macam ibadah seperti shalat, sembelihan, nadzar, puasa, haji, dan lainnya dengan rasa takut dan harap, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, walaupun tidak ada bentuk permintaan di dalamnya. Namun seseorang yang beribadah (tentunya) menginginkan surga dan dijauhkan dari neraka, sehingga hakikatnya dia seorang yang menginginkan sesuatu dan menjauhkan diri dari sesuatu. Jika telah jelas hal tersebut, maka ketahuilah para ulama telah ijma’ bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia adalah seorang yang musyrik.” (Taisir Al-’Azizil Hamid dengan ringkas, hal. 170 dan 181)

Hukum Menetapkan Perantara dengan Bertaqarub kepada-Nya
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Barangsiapa membuat perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga bertawakal dan berdoa serta memohon kepada perantara tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’. Dinukil ijma’ ini oleh banyak ulama, di antara mereka Ibnu Muflih dalam Al-Furu’, penulis Al-Inshaf, penulis Al-Ghayah dan Al-Iqna’, serta pensyarah selain mereka.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182-183, lihat Fatawa Kubra)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Itu adalah ijma’ yang shahih dan diketahui dalam syariat dengan pasti. Para ulama mazhab yang empat menegaskan dalam hukum murtad bahwa barangsiapa yang berbuat syirik berarti dia telah kafir.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 183)

Mencium Tanah dan Membungkuk
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Adapun mencium tanah, mengangkat kepala dan sejenisnya, layaknya gerakan sujud yang dilakukan di hadapan sebagian tokoh dan pemimpin, tidaklah diperbolehkan (dalam syariat, pent.). Bahkan tidak boleh membungkuk seperti keadaan ruku’. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 1/372)


Beliau berkata juga: “Membungkuk ketika memberi penghormatan kepada orang lain termasuk hal yang dilarang. Sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seseorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”
Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun dalam syariat selain kita adalah bentuk penghormatan, sebagaimana dalam kisah Yusuf ‘alaihissalam:
وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَاأَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
“Merekapun merebahkan diri seraya sujud kepadanya dan berkata: ‘Wahai bapakku, ini adalah takwil mimpiku dulu’.” (Yusuf: 100)


Akan tetapi dalam syariat kita tidak dibolehkan sujud kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala....” (Majmu’ Fatawa, 1/377)
Demikianlah sekelumit pandangan-pandangan seorang alim Ahlus Sunnah, yang kemudian ucapan-ucapan beliau ini dijabarkan oleh para ulama Ahlus Sunnah setelah beliau rahimahullahu. Semoga apa yang kami paparkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


Pertanyaan Tentang Shalat Tasbih

 >Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

>Numpang tanya.
>Bolehkah kita melaksanakan sholat tasbih setelah tahiyatul masjid
>pada hari Jum'at ?.
>Ada kekhawatiran matahari tepat di atas kita pada waktu tersebut.
>Jazakallahu atas jawabannya
>Wassalam

Shalat Tasbih boleh dikerjakan kapan saja, jika tidak dapat dikerjakan
setiap hari maka kerjakan setiap satu Ju'mat satu kali. Dan jika tidak bisa,
maka kerjakankanlah sekali setiap bulan. Dan jika tidak bisa, maka
kerjakanlah satu kali setiap tahun. Dan jika tidak bisa juga, maka
kerjakanlah satu kali selama hidupmu.

Mengerjakan shalat tasbih setelah tahiyatul masjid pada hari Jum'at tidak
perlu dikhawatirkan, karena banyak waktu pilihan didalamnya, seperti masuk
ke masjid pada waktu pagi hari, atau satu dua jam sebelum shalat jum'at,
atau juga setelah shalat jum'at.

Adapun untuk lebih jelasnya mengenai Shalat Tasbih, akan saya salinkan
secara ringkas dari buku Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu' edisi
Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Terbitan Pustaka Imam
Asy-Syafi'i.


SHALAT TASBIH

Diantara shalat yang disyariatkan adalah Shalat Tasbih, yaitu seperti yang
disebutkan di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berikut ini.

"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib : "Wahai Abbas,
wahai pamanku, maukah engkau jika aku memberimu ? Maukah engkau jika aku
menyantunimu ? Maukah engkau jika aku menghadiahkanmu ? Maukah engkau jika
aku berbuat sesuatu terhadapmu ? Ada sepuluh kriteria, yang jika engkau
mengerjakan hal tersebut, maka Allah akan memberikan ampunan kepadamu atas
dosa-dosamu, yang pertama dan yang paling terkahir, yang sudah lama maupun
yang baru, tidak sengaja maupun yang disengaja, kecil maupun besar,
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sepuluh kriteria itu adalah :
Hendaklah engkau mengrejakan shalat empat rakaat ; yang pada setiap rakaat
engkau membaca surat al-Fatihah dan surat lainnya. Dan jika engkau sudah
selesai membaca di rakaat pertama sedang engkau masih dalam berdiri,
hendaklah engkau mengucapkan :" Subhanallah, walhamdulillah, walailaaha
ilaallah, wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak Ilah
(yang haq) selain Allah, dan Allah Mahabesar)", sebanyak lima belas kali.
Kemudian ruku, lalu engkau membacanya sepuluh kali sedang engkau dalam
keadaan ruku'. Lalu mengangkat kepalamu dari ruku seraya mengucapkannya
sepuluh kali. Selanjutnya, turun bersujud,  lalu membacanya sepuluh kali
ketika dalam keadaan sujud. Setelah itu, mengangkat kepalamu dari sujud
seraya mengucapkan sepuluh kali. Kemudian bersujud lagi dan mengucapkannya
sepuluh kali. Selanjutnya, mengangkat kepalamu seraya mengucapkannya sepuluh
kali. Demikian itulah tujuh puluh lima kali setiap rakaat. Dan engkau
melakukan hal tersebut pada empat rakaat, jika engkau mampu mengerjakannya
setiap hari satu kali, maka kerjakanlah. Dan jika engkau tidak bisa
mengerjakannya setiap hari maka kerjakanlah setai satu Jum'at satu kali. Dan
jika tidak bisa, maka kerjakankanlah sekali setiap bulan. Dan jika tidak
bisa, maka kerjakanlah satu kali setiap tahun. Dan jika tidak bisa juga,
maka kerjakanlah satu kali selama hidupmu" [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Ibnu Majjah] [1]

Dapat saya katakan, berikut ini beberapa manfaat yang berkaitan dengan
hadits shalat tasbih.

Pertama : Khitab di dalam hadits ini ditujukan kepada Al-Abbas, tetapi
hukumnya berlaku umum, bagi setiap orang muslim. Sebab, landasan dasar dalam
khithab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah umum dan tidak
khusus.

Keempat : Tidak disebutkan penetapan bacaan dalam rakaat-rakaat tersebut dan
tidak juga penetapan waktu pelaksanaannya.

Kelima : Lahiriyah hadits menyebutkan bahwa shalat tasbih itu dikerjakan
dengan satu salam, baik malam hari maupun siang hari, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al-Qari di dalam kitab Al-Mirqaat dan Al-Mubarakfuri di
dalam kitab At-Tuhfah (I/39)

Keenam : Yang tampak adalah, bacaan dzikir yang diucapkan sepuluh kali
sepuluh kali itu diucapkan setelah dzikir yang ditetapkan di tempatnya
masing-masing. Artinya, di dalam ruku, dzikir-dzikir itu dibaca setelah
dzikir ruku yang diucapkan sebanyak sepuluh kali, dan setelah ucapan :
Sami'allaahu liman hamidah, Rabbana lakal hamdu, dan juga berdiri dari ruku
dibaca sebanyak sepuluh kali. Demikianlah, hal itu dilakukan di setiap
tempat masing-masing.

... dst...

[Disalin dari buku Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu' edisi
Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Terbitan Pustaka Imam
Asy-Syafi'i. hal 120-124]
_________
Foote Note.
[1] Hadits hasan lighirihi. Diriwayatkan oleh Abu Daud  di dalam Kitaabush
Shalah, bab Shalaatut Tasbih (hadits no. 1297) dan lafaz di atas adalah
miliknya. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam kitab Iqaamatush Shalaah
was Sunnah Fiiha, bab Maa Jaa-a fii Shaalaatit Tasbiih (hadits no 1386).

Hadits ini dinilai kuat oleh sekelompok ulama, yang diantaranya adalah Abu
Bakar Al-Ajurri, Abul Hasab Al-Maqdisi, Al-Baihaqi dan yang sebelum mereka
dalah Al-Mubarak. Demikian juga dengan Ibnus Sakan, An-Nawawi, At-Taaj
As-Subki, Al-Balqini, Ibnu Nashiruddin Ad-Damsyiqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi,
Al-Laknawi, As-Sindi, Az-Zubaidi, Al-Mubarakfuri penulis kitab At-Tuhfah,
dan Al-Mubarakfuri penulis kitab Al-Mi'aat dan Al-Allamah Ahmad Syakir serta
Al-Albani dari kalangan orang-orang terakhir. Lihat juga kitab, Risalatut
Tanqiih Limaa Jaa-a fii Shalatit Tasbih, Jasim Ad-Dausari, (hal.64-70).

Pertanyaan Seputar Sholat dalam Perjalanan

assalamualaikum warahmatullah

saya ingin mendapatkan jawaban yang sharih dan shahih tentang pelaksanaan shalat jama'dan qasar sebab sewaktu di dewan dakwah ustad dahlan berpendapat sholat jamak dan qasar hanya dapat dilaksanakan diperjalanan sedang bila sudah sampai maka yang dilaksanakan adalah sholat jamak saja. Apa betul begitu? karena saya melaksanakan jamak dan qasar wallaupun sudah sampai di tempat tujuan.

Jazakallah khairon


Wassalamualaikum warahmatullah


Jawab:

Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh

Hadits-hadits yang betalian dengan shalat qoshor banyak disebutkan oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram. (Karena buku ini sedang tidak ada di tangan saya,) Berikut ini saya berikan keterangan berdasarkan kitab FIKIH SUNNAH, karya Sayyid Sabiq, terbitan Al-Ma'arif, Bandung dan SILSILAH HADITS SHAHIH, karya Syeikh M. Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, Solo)

  1. Sayyid Sabiq meyebutkan bahwa berkata Ibnu Qoyyim: "Jikalau bepergian, Rasulullah s.a.w. selaluu mengqahar shalat yang empat raka'at dan mengerjakannya hanya dua-dua rak'at, SAMPAI BELAIU KEMBALI KE MADINAH. Tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap melakukannya empat rak'at. Hal ini tidak mejadi perselisihan lagi bagi Imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar........." (ringkasnya) --> Hanafi (Wajib), Maliki (sunnah mu'akkad), Hambali & Syafi'i (jaiz hanya lebih utama daripada menyempurkan).
  2. Sayyid Sabiq membuat pasal tentang ;"Bilakah musafir itu mencukupkan shalatnya?". Kemudian menyebutkan; "Seorang musafir itu boleh terus mengqoshor shalatnya SELAMA IA MASIH DALAM BEPERGIAN. Jika ia bermukim di suatu tempat karena sesutau keperluan yang hendak diselesaikannya, maka ia tetap boleh mengqashar, sebab masih terhitung dalam bepergian walaupun bermukimnya di sana sampai bertahun-tahun lamanya. Adapun kalau ia bermaksud hendak bermukim di sana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang terkuat yang dipilih oleh Ibnu Qoyyim, bermukimnya itu belum lagi menghilangkan hukum bepergian, baik lama atau sebentar, selama ia tidak berniat hendak menjadi penduduk tetap di sana itu. Dalam hal ini para ulama mempunyai berbagai-bagai pendapat dan diringkaskan oleh Ibnu Qoyyim sambil memperkuat pendapatnya sendiri sbb:......."--->(Buat ikhwan yang tengah belajar di luar negeri baca keterangan tambahan di bawah).
  3. Masih dalam Fikih Sunnah, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa; Dalam sahih Bukhori dari Ibnu 'Abbas, katanya: "Nabi s.a.w. bermukim dalam salahsatu perjalanannya selama sembilanbelas hari dan selalu sholat dua rak'at. Maka kamipun kalau bermukim dlam perjalanan selama sembilanbelas hari, kami akan tetap mengqashar, dan kalau lebihdari itu, akan kami cukupkan." Kemudian masih dalam keterangan dari Ibnu Qoyyim bahwa; dari Jabir bin Abdullah , katanya: "Nabi s.a.w. bermukim di Tabuk selama duapuluh hari dan selalu mengqashar shalatnya." (HR Imam Ahmad dalam musnadnya).
  4.  

  5. Dalam penjelasan terhadap hadits tentang: JAMA' TAQDIM, Al-muhaddits Al-Albani melampirkan tambahan keterangan dari Ibnu Taimiyyah dalam Majmu'atur Rasail Wal-Masail (2/26-27): "Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi saw. Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji wada'. Tidak ada kasus jama' darinya kecuali di Arafah dan Muzdzalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama' di sana. Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam sutau bepergian terkadang menjama' dan terkadang tidak. bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak menjama'. Hal ini juga menunjukkan bahwa beliau tidak menjama'. Dan juga menunjukkan bahwa JAMA' BUKAN MENJADI SUNNAH SAFAR SEBAGAIMANA QASHAR, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan ummatnya. Maka seorang musyafir bilamana memerlukan jama' maka lakukan saja baik pada waktu kedua atau pertama.............. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena ia musafir, namun tidak diperkanankan men-jama'. Ia seperti halnya tidak boleh shalat diatas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum, dan tidak boleh makan bangkai. Hal-hal ini seperti halnya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. Sesungguhnya ia memang manjadi sunnah dalam shalat di perjalanan."

Saya berkesimpulan:

Yang benar adalah: Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengqoshor shalat setiap kali dalam perjalanan (keluar dari Madinah) HINGGA KEMBALI ke Madinah. Tidak ada keterangan dari ulama' berdasarkan sunnah baik dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam maupun Shahabat Ridwanullahu ajma'in bahwa beliau (mereka) mencukupkan (tidak mengqoshor lagi) setelah SAMPAI DI TUJUAN, kecuali bila ada niat bermukim ditempat yang dituju itu.

Dengan demikin, InsyaAllah, akan lebih dekat pada kebenaran bila melakukan jama' qoshor ditengah jalan saja dan mengqoshor saja (tanpa jama', kecuali bila diperlukan) bila telah sampai tujuan, baru kemudian menyempurnakan bila telah kembali. Wallahu 'alam.

Tambahan buat ikhwan yang tengah belajar di luar negri:

Kita tinggal selama beberapa tahun, berdasarkan pendapat Ibnu Qoyyim seperti tersebut diatas (nomor 2) maka kita adalah musafir yang berhak bahkan diutamakan untuk mengqashar.

Namun disini saya sampaikan bahwa, saya telah mendengar keterangan dari ustadz Yazid bahwa telah ada fatawa dari masyayih (Syeik Bin Baz, Syeikh Utsaimin, dll) bahwa : Tidak tepat menyamakan antara "safar" kita dengan "safar" Rasulullah saw, karena beliau TIDAK PERNAH MENETAPKAN berapa lama mau tinggal/singgah ditempat tujuan, sebagaimana ketika di Makkah maupun di Tabuk, tidak ada rencana sekian-sekian hari. Sehingga kita lebih tepat dihukumi mukim (walau sementara) dan berlaku hukum-hukum bagi yang bermukim. Beliau (Ustadz Yazid) menandaskan bahwa FATAWA ITU TELAH ADA.

Fatawa itu tentunya dibuta dengan tidak mengabaikan pendapat Ibnu Qoyyim. Sambil menunggu kiriman keterangan tertulis dari ustadz baik berupa fatawa masyayikh tersebut atau tulisan beliau sendiri, saya tinggalkan pendapat Al-'alamah Ibnu Qoyyim (dalam hal ini ). Adalah lingkup ijtihad orang awwam untuk memilih pada ulama' mana ia akan tsiqoh. Wallahu 'alam.

Wassalamu 'alaikum