Di tengah padang pasir Najd yang sunyi, seorang ulama bangkit dengan semangat membara: Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia menyerukan pemurnian Islam, mengajak kembali pada tauhid murni, dan menolak segala bentuk apa yang ia anggap sebagai bid'ah dan syirik. Tapi seperti halnya api—ia bisa menghangatkan, tapi juga bisa membakar.
Tahun 1744, ia bersatu dengan penguasa lokal, Muhammad bin Saud. Dari sinilah kisah Wahabi dimulai, bukan hanya sebagai gerakan dakwah, tapi sebagai kekuatan militer dan politik. Dan sejarah pun mencatat, bahwa di balik setiap cita-cita kemurnian, bisa tersembunyi jejak-jejak luka.
Darah di Karbala
Tahun 1802, pasukan Wahabi menyerbu Karbala, kota suci bagi Muslim Syiah. Ribuan jiwa melayang. Makam Imam Husain—cucu Nabi Muhammad SAW—dihancurkan. Dalam pandangan Wahabi, ziarah itu adalah kesyirikan. Tapi bagi sebagian umat Islam lainnya, itu adalah cinta dan penghormatan.
Apa yang mereka anggap penyucian, bagi yang lain terasa sebagai penistaan terhadap sejarah dan kesucian.
Makkah, Madinah, dan Penghapusan Jejak Sejarah
Tak lama setelah itu, Makkah dan Madinah jatuh ke tangan Wahabi. Kubah-kubah dihancurkan, makam-makam diratakan. Termasuk rumah tempat lahirnya Nabi Muhammad—dihapus karena dianggap sumber kultus.
Tapi... benarkah penghancuran itu adalah bentuk pengagungan tauhid? Ataukah itu justru menghilangkan jejak cinta umat kepada Rasulullah dan para sahabatnya?
Pemberontakan yang Dibalas Kekhilafahan
Pemerintah Utsmani tak tinggal diam. Pasukan Mesir dikirim, Dir'iyyah dibombardir, pemimpin Wahabi ditangkap dan dieksekusi. Sejarah mencatat ini sebagai perang saudara dalam Islam, bukan hanya soal teologi, tapi juga soal kekuasaan dan dominasi tafsir.
Bangkit Kembali: Dari Debu ke Istana
Awal abad 20, keturunan Saud bangkit lagi. Abdul Aziz bin Saud menyatukan Arab dan mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Wahabi kembali menjadi pilar ideologi. Kini, dengan kekayaan minyak, ajaran itu tersebar ke seluruh dunia, mendirikan masjid dan madrasah atas nama tauhid murni.
Namun di balik itu, banyak budaya Islam lokal—yang damai, penuh cinta, dan lembut—terpinggirkan, dibid’ahkan, bahkan dimusnahkan.
Pertanyaan Batin: Mana Jalan yang Benar?
Seorang pencari ruhani pasti bertanya:
Apakah kemurnian harus ditegakkan dengan pedang?
Apakah kesesatan bisa dipadamkan dengan darah?
Apakah cinta kepada Rasul dan Ahlul Bait adalah syirik?
Ataukah itu bagian dari kehangatan iman?
Wahabi mungkin lahir dari semangat memurnikan,
Namun sejarah menunjukkan bahwa tanpa hikmah dan kasih, pemurnian bisa menjadi penghancuran.
Refleksi Penutup
Di jalan spiritual, kita belajar bahwa kebenaran bukan hanya tentang apa yang diyakini, tapi juga bagaimana ia dijalani. Agama bukan hanya teks, tapi jiwa yang hidup di balik teks itu.
Sejarah Tentang Wahabi mengajarkan satu hal:
Tafsir yang kaku, bila dipaksakan, bisa melahirkan luka. Dan dalam luka itu, kita diingatkan kembali bahwa Tuhan tak bisa dimonopoli oleh satu tafsir tunggal.
Mari berjalan dalam pencarian yang jernih, lembut, dan penuh kasih. Karena Tuhan lebih dekat dengan jiwa yang hening dan batin yang teduh, bukan dengan gempita amarah atas nama agama.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah