Selasa, 29 Juni 2021

Alasan Hadits Ahad Tidak Boleh Dijadikan Pedoman Akidah

HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN

HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH

 

 


Kata Pengantar

 

 

Puji syukur hanya milik Allah swt.  Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Mohammad saw, keluarga, shahabat dan orang-orang yang selalu menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah. 

Wacana apakah hadits ahad absah dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah atau tidak, merupakan bagian dari kekayaan khazanah Islam.   Para ulama telah mendiskusikan topik ini sejak ratusan tahun yang lalu.   Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan.  Ulama yang lain berpendapat, bahwa hadits ahad berfaedah kepada ilmu dan keyakinan.   Masing-masing mengetengahkan dalil dan argumentasi untuk membangun pendapat mereka.   Walaupun tidak sampai bertemu dalam satu titik kesepakatan, akan tetapi, kita bisa menarik sebuah kesimpulan yang sama, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang masih diperbolehkan oleh syara’.  

Namun, kaum muslim tetap harus menentukan sikap terhadap dua pendapat tersebut, mana diantara dua pendapat tersebut yang harus ia ikuti dan dianggap rajih.  

Atas dasar itu, seorang muslim harus memahami koridor dalam memilih pendapat.   Koridor itu adalah: pertama, ia harus memilih pendapat yang sejalan dengan al-Quran dan Sunnah.  Kedua, ia harus memilih pendapat yang paling rajih dan kuat dalilnya.  Dengan kata lain, ia harus memilih pendapat yang kebenarannya mendekati kebenaran al-Quran dan Sunnah. Ketiga, ia harus memilih sebuah pendapat yang dianggapnya benar berdasarkan niat yang tulus dan ikhlash. 

Seorang muslim harus selalu menghormati pendapat dan pendirian saudaranya muslim selama pendapat tersebut tetap sejalan dengan al-Quran dan sunnah.   Ia tidak boleh memutuskan hubungan, mendeklarasikan permusuhan terhadap sesama muslim yang pendapat dan pendiriannya berbeda.   Kita tidak boleh membenci, melaknat, atau mencela sesama muslim yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyyah.  Selama pendapat dan pendirian mereka bernafaskan ‘aqidah dan syariat Islam, mereka adalah saudara kita dan kita tetap harus menjaga hak-haknya sebagai saudara muslim.  

Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyyah tidak boleh menyibukkan kaum muslim dari tugas-tugas yang lebih penting.   Masih banyak kaum muslim yang belum memahami dan menyakini ‘aqidah dan syariat Islam.  Tugas untuk mendidik umat dengan ‘aqidah dan syariat Islam merupakan tugas terpenting yang harus dijadikan focus perhatian oleh setiap kaum muslim.  Kita tidak boleh menghabiskan waktu hanya untuk masalah-masalah furu’ yang tidak akan pernah selesai hingga hari akhir.  Alangkah bijaknya, jika seluruh kaum muslim bahu-membahu untuk mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan kaum muslim yang lebih mendesak.  

Semoga risalah ini bisa bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan Islam.  

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Isi

 

Judul

Pengantar

 

Bagian Pertama

‘AQIDAH [1]
  • Iman Dalam Tinjauan Bahasa [1]
  • Iman Dalam Tinjauan Istilah [2]

 

Bagian Kedua

AL-‘ILMU WA AL-DZAN [4]

 

Bagian Ketiga

CELAAN AL-QURAN TERHADAP KEYAKINAN YANG

DIBANGUN DENGAN DZAN [8]

 

Bagian Keempat

HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH
DALAM PERKARA ‘AQIDAH [13]

Argumentasi Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah [18]

  • Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan Al-Quran Al-Kariim [18]
  • Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam mushhaf  Imam [24]
  • Argumentasi ‘Aqliyyah [27]

 

Persepsi Salah Yang Harus Diluruskan [29]:

·          Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja [29]

·          Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf [34]

·          Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad [35]

 

Bagian Kelima

SIKSA KUBUR [39]

  • Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27  dan Jalan Komprominya {41]
  • Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya [46]
  • Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari Kiamat [49]
  • Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52 [50]
  • Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55 [51]

 

 

 

 

 

 

Kata Pengantar

 

 

          Puji syukur hanya milik Allah swt.   Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Mohammad saw, keluarga, shahabat, dan orang-orang yang selalu menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah.

          Perdebatan di kalangan kaum muslim mengenai apakah hadits ahad absah dijadikan hujjah dalam masalah aqidah atau tidak, adalah bagian dari khazanah akademis Islam.   Para ‘ulama telah mendiskusikan topik ini sejak ratusan tahun yang lalu.   Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan.  ‘Ulama yang lain berpendirian, bahwa hadits ahad berfaedah kepada ilmu dan keyakinan.   Masing-masing mengetengahkan dalil dan argumentasi untuk membangun pendapatnya.   Walaupun tidak sampai bertemu dalam satu titik kesepakatan, akan tetapi kita bisa menarik kesimpulan yang sama, yaitu, perbedaan pendapat dalam masalah ini merupakan perbedaan pendapat dalam ruang yang masih diperbolehkan oleh syari’at Islam.

          Akan tetapi, kaum muslim tetap harus menentukan sikap terhadap dua pendapat tersebut; mana diantara dua pendapat itu yang seharusnya ia pilih.

          Atas dasar itu, seorang muslim harus memahami koridor-koridor dalam memilih suatu pendapat.   Koridor itu adalah, pertama, ia harus memilih pendapat yang sejalan dengan al-Quran dan Sunnah.   Kedua, ia harus memilih pendapat yang paling rajih dan kuat dalilnya.   Ketiga, ia harus memilih pendapat yang dianggapnya benar berdasarkan niat yang tulus dan ikhlash. 

          Seorang mukmin mesti menghormati pendapat dan pendirian saudaranya muslim selama pendapat dan pendiriannya sejalan dengan al-Quran dan Sunnah.   Ia tidak boleh memutuskan hubungan, mendeklarasikan permusuhan terhadap saudaranya yang berbeda pendapat.  Ia tidak boleh membenci, melaknat, atau mencelanya.   Selama pendapat dan pendirian mereka bernafaskan ‘aqidah Islam dan syariat Islam, mereka adalah saudara dan harus dijaga hak-haknya sebagai seorang muslim.

          Perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah semacam ini hendaknya justru tidak menyibukkan kaum muslim dari tugas-tugasnya yang lebih penting.  Masih banyak kaum muslim yang belum memahami dan menyakini ‘aqidah dan syariah.   Atas dasar itu, mendidik umat dengan aqidah dan syariah merupakan tugas penting yang harus dijadikan fokus perhatian oleh setiap muslim.   Janganlah kita malah menghabiskan waktu untuk masalah-masalah furu’ yang tidak akan pernah selesai hingga hari akhir.   Alangkah bijaknya, jika seluruh komponen kaum muslim –Sunni dan Syiah; serta kelompok-kelompok Islam—bersatu padu untuk menyelesaikan problem besar umat Islam untuk melawan arogansi kaum kafir.  

          Akhirnya, semoga risalah pendek ini bisa membukakan mata hati yang terpejam dan menyalakan ruh untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran.  Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

 

Jakarta, 3 Nopember 2003

Al-Faqir Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy Al-Haadiy


Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MELURUSKAN AQIDAH KITA

Hadits Ahad Tidak Boleh Dijadikan

Hujjah Dalam Perkara Aqidah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

‘AQIDAH

 

 

 

Iman Dalam Tinjauan Bahasa

            Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).[1] 

Menurut istilah, kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).[2] 

Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama.  Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna al-‘ilmu.[3]    Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya.  Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”[4]

Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..."[5]

Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).  

Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.[6]  Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).[7] 

Imam Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”[8]

 

Iman Dalam Tinjauan Istilah

Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."[9]

Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)".[10]

Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat."[11]

Imam al-Ghazali, menyatakan,"Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya."[12]

Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’iy (pasti) baik tsubut (sumber)  maupun dilalahnya (penunjukkannya).   Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari’ adalah keimanan yang menyakinkan dan tidak disusupi keraguan. 

 


AL-'ILMU WA AL-DZAN

 

 

            Dua kata ini, al-‘ilmu dan al-dzan, merupakan terminologi yang sering digunakan dalam pembahasan ‘aqidah.   Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum memahami makna dari dua kata ini.   Padahal, mengetahui makna dari kedua kata ini merupakan faktor yang sangat penting sebelum memulai pembahasan-pembahasan ‘aqidah. 

            Al-‘Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin[13].   Iman sendiri bermakna, pembenaran (tashdiiq)[14] pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun berdasarkan dalil[15].  Keyakinan hati yang tidak sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai iman.   Keyakinan semacam ini disebut dengan al-dzan.  

            Berikut ini akan kami ketengahkan ayat-ayat yang berbicara tentang al-‘ilmu dan al-dzan.  Allah swt berfirman;

            "Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, mereka benar-benar menamakan malaikat  itu dengan nama perempuan.  Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan (AL-'ILMU) tentang itu.  Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (al-Najm : 27-28)

            "...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)

            "dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya kami telah membunuh Al- Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan 'Isa bagi mereka.  Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu.  Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa". (Al-Nisaa' : 157)

            Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna al-qath'iy (pasti) dan al-yaqiin (yakin).  Penyebutan kata al-'ilmu dengan makna al-dzan (prasangka kuat) sangatlah sedikit.  Allah swt berfirman,

            "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (AL-'ILM) tentangnya..." (al-Isra' : 36)

            "..Maka jika kamu telah mengetahui (Al-'ILM) bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (al-Mumtahanah : 10)

            Kata al-‘ilmu dalam ayat-ayat ini bermakna al-dzan (prasangka kuat).

            Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar).  Al-Quran telah menyatakan hal ini dalam surat Al-najm ayat 28;

            "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (Al-najm : 28)

            Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin.  Allah swt berfirman;

            "(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (al-Baqarah : 46)

            Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat).  Allah swt berfirman,"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)

            Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif)  tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum syara'. Orang yang mengatakan bahwa malaikat itu berjenis kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu tidak didasarkan pada dalil, ataupun syubhah dalil.[16]  Mereka tidak memiliki bukti apapun kecuali sekedar persangkaan saja.  Jenis al-dzan semacam  ini (al-wahm) tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah keyakinan ('aqaaid) maupun hukum syara’.

            Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah digunakan dalil dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk masalah 'aqidah.  Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt ;

"..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah"   [2:230].

            Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka isterinya harus nikah dengan suami yang lain terlebih dahulu. Jjika suami kedua menceraikannya, maka ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah"   [2:230]. 

Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’ tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat).   Ruju’ merupakan bagian dari hukum syara’.  Ini menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum syara’, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.

            Walaupun dzan absah digunakan dalil dalam masalah hukum syara’, akan tetapi, ia tidak absah digunakan dalil dalam masalah 'aqidah.   Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam  surat al-Nisaa':157.

            Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa as telah  tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat.  Persangkaan mereka bukan sekedar wahm.  Sebab, mereka menyaksikan 'Isa as berada di dalam sebuah rumah bersama murid-muridnya, sedangkan para tentara telah mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya seperti beliau as. Tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat nabi 'Isa as ke atas langit.  Ketika  para tentara memasuki rumah dan menangkap orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang diserupakan dengan Isa, adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan 'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati.  Peristiwa ini disaksikan oleh khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa Isa as telah tersalib.

            Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan mengandung keraguan dilihat dari dua sisi.  Pertama, penyerupaan itu tidak sempurna.  Wajah orang yang diserupakan Isa itu,  adalah wajah 'Isa as, akan tetapi,  tubuhnya bukan tubuh 'Isa as.    Kedua,  bahwa jumlah orang yang bersama Isa as di dalam rumah berkurang satu.  Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13 orang, 'Isa as dan 12 muridnya.  Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki.  Karena ada perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat yakin  inderawiy ke derajat dzan.      

            "Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka". (Al-Nisaa' : 157).

            Allah swt telah melarang dzan semacam ini untuk dijadikan dalil dalam masalah 'aqidah (keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat).   Allah telah menetapkan, 'aqidah tidak boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ).  ‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy).   Allah telah menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa" (al-Nisaa':157).  Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh, tidak memiliki bukti yang menyakinkan.  Kenyakinan semacam ini adalah kenyakinan yang dicela oleh Al-Quran. 


CELAAN AL-QURAN TERHADAP KEYAKINAN

YANG DIBANGUN DENGAN DZAN

 

        Di banyak ayat, Allah swt dengan tegas telah mencela orang-orang yang mengikutkan persangkaannya dalam masalah keyakinan (‘aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut –mengikuti dzan dalam masalah keyakinan (‘aqidah)-- terkategori perbuatan yang diharamkan Allah swt. Al-Quran dengan sangat jelas, telah menunjukkan pengertian semacam ini Allah swt berfirman,”

 

إِنْ هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى اْلأَنْفُس ُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”[al-Najm:23]

 

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى

Sesungguhnya orang-orang yang tiada berîman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.”[al-Najm:27]

 

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[Yunus:36]

 

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa….”[al-Nisâ’:157]

 

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[al-Nisâ’:116]

 

كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”[Al-An’am:148]

 

أَلَا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَتَّبِعُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.”[Yunus:66]

Allah swt juga berfirman,

 

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?[Yunus:68]

 

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[Shâd:27]

 

وَإِذَا قِيلَ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ لَا رَيْبَ فِيهَا قُلْتُمْ مَا نَدْرِي مَا السَّاعَةُ إِنْ نَظُنُّ إِلَّا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ

“Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[al-Jâtsiyyah:32]

 

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”[Fushilat:23]

 

وَأَنَّهُمْ ظَنُّوا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaîmana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun”[al-Jin:7]

 

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[AL-Baqarah:78].

 

  Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jâzim) bagi orang yang mengikuti dzan dalam masalah ‘aqidah, atau keyakinan. Sedangkan dalam masalah hukum syari’at tidak perlu bukti yang menyakinkan. Allah swt berfirman, “

 

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-Baqarah : 230).

 

   Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk melaksanakan ruju’ – (‘amal)— tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi cukup hanya didasarkan pada prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah]. Secara syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus menyakini dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan aturan Allah swt.

   Ini menunjukkan bahwa, untuk mengerjakan suatu perbuatan, Allah swt tidak mensyaratkan, “harus disandarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan”, akan tetapi cukup didasarkan pada prasangka kuat saja (dzan).

   Walhasil, ‘aqidah harus disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût maupun dilâlahnya. Sedangkan untuk amal perbuatan (syari’at) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil yang menyakinkan.

 

 


HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN

HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH

 

 

            Meskipun diskusi seputar hadits ahad (apakah menghasilkan keyakinan atau sekedar dzan) telah menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum muslim dan para ‘ulama, namun demikian perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak pernah  menyulut pertentangan maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama muslim.   Para ‘ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata “pengkafiran” kepada ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. 

            Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat.   Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat.  Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat dari Hafshah[17]. 

            Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah.  Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah[18].

Akan tetapi, ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.   Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan saja adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama.   Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah.  Bahkan orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan), sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. 

Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits ahad--, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil.  Sebab, setiap orang pasti menolaknya.  Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat.  Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran).  Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”[19]

’Aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan, baik tsubut maupun dilalahnya.   Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang dituntut oleh syara’ adalah ‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.  Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti kebenarannya.   Oleh karena itu, dalil yang membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.  

Hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung syubhat atau kesamaran[20].  Oleh karena itu, dari sisi tsubut (penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan.  Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan pasti (‘aqidah).  Pendapat ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur para ‘ulama.

Prof. Mahmud Syaltut[21] menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat Quran yang qath’iy dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau lebih--, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah, risalah, dan keyakinan kepada hari akhir.  Ayat-ayat yang tidak qath’iy dilalahnya –mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini tidak absah dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan dengan al-Quran atau tidak tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy.   Jika ‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka….. ”[22]

Seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat, bahwa al-Quran dan hadits mutawatir yang qath’iy dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan.    Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah, meskipun dari sisi tsubut menyakinkan.  Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai status hadits ahad;  apakah hadits ahad dari sisi tsubut (penetapan) menghasilkan keyakinan atau tidak. 

Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.   Sebagian ‘ulama lain menyatakan bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan.  Ada pula yang berpendapat, jika hadits ahad diperkuat qarinah, maka ia menghasilkan keyakinan.[23]

Berikut ini kami ketengahkan para ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.

Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama.   Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan.  Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’[24]  

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw.  Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran).  Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu)[25].” 

Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”[26]

Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi.  Sebab, setiap orang pasti menolaknya.  Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat.  Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran).  Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”[27]

Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.  Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi.  Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad.  Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”[28]

Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan[29]

            Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan).  Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan.  Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal.[30]

Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan.  Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”[31]

Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”[32]

Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”[33]

Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”

Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”[34]

Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”[35]

Meskipun demikian, kita tidak pernah menjumpai bahwa para ‘ulama-‘ulama tersebut di atas dengan gegabah telah mengkafirkan ‘ulama-‘ulama lain yang berseberangan pendapat dengan mereka.  

Sangat disesalkan, sebagian kaum muslim yang sedikit pengetahuannya –terlepas apa tendensinya— telah menyesatkan, bahkan mengkafirkan saudara seimannya, walaupun bisa jadi pendapat mereka adalah pendapat yang lemah dan tidak layak untuk diikuti.

Untuk menepis pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah, maka kami akan memaparkan secara ringkas penjelasan yang dipilih oleh jumhur ‘ulama.

 

Argumentasi Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah

 

1.    Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan al-Quran al-Kariim.

Bila anda perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah).   Bahkan, menyakini bahwa khabar ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan pokok ‘aqidah Islam.

Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan salah satu pokok keimanan bagi kaum muslim.  Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran.   Al-Quran yang dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.  Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran –sebagai pokok ‘aqidah umat Islam.   

Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir.   Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.   Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushhaf Imam. 

Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim.  Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir.  Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran sama sekali tidak ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Pakar ‘ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya,  topiknya dan  urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir).  Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir.  Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya.   Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan  apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.[36]

Sebagian besar ‘ulama ushul, sebagaimana pendapat al-Hafidz al-Suyuthiy berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat bagi itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak.  Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran secara pasti.   Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran.  Al-Quran adalah pokok dari keyakinan kaum muslim.  Mengingkari al-Quran, atau menyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman.   Walhasil, keterangan-keterangan ini telah membuktikan bahwa, hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan).  Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir.  Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:

·         Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata, artinya” Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh ayat daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180.]

Riwayat ini adalah riwayat ahad.  Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap.  Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang.   Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw.   Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).   

·         Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, ia menyatakan, “Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat.  Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.” [al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 5; hal.180]

Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini, maka lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat telah hilang dari surat al-ahzab.  Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat.    Walhasil, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah.  Seorang muslim dilarang sama sekali menyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.

·         Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya.  Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).  Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah.  Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..".  'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?"  Hafshah menjawab, "Tidak!".  'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."

Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.  Sebab, ia adalah khabar ahad.  Padahal, riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran.    Sebab, jika riwayat ini diyakini sama artinya menyakini bahwa al-Quran telah mengalami pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.

·         Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan.  Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran."  Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat  ini.  Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf.

·         Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif,  al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab,  ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak.  Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat  fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].” 

Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf imam, sebab riwayat tersebut  adalah khabar ahad.  Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran.  Sebab, seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan.  Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad [lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]

·         Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf.  Lalu,  sampailah mereka kepada  ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam". 

·         Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya". 

Namun demikian, riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh).  Sebab, riwayat ini adalah khabar  ahad.  Kita telah memahami bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. Al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath'iy), bukan dzan.  Padahal, al-Quran adalah salah satu rukun dari rukun-rukun 'aqidah yang harus diimani baik yang global maupun yang rinci.   Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus menyakini bahwa mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik.  Sebab, mereka tidak melembagakan ayat rajam yang disampaikan oleh ‘Umar ra di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.

·         Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhafnya.  Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah.   Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”. 

·         Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. [37]

Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran.  Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran.  Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih. 

Al-Bazariy menyatakan, "Tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat yang mengikuti Ibnu Mas'ud.  Telah disahkan dari Nabi saw, bahwa beliau saw membaca keduanya dalam sholat, dan mu'awidzatain ditetapkan dalam mushhaf.  Walhasil, para shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas'ud ra, karena ia adalah khabar ahad yang tidak  sampai kepada derajat mutawatir dan qath'iy.

Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]

Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.”  Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhafnya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]

Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran?  Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).   Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.  

Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan.  Perilaku para shahabat untuk tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.

 

2.    Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam mushhaf  Imam.

Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra, para shahabat telah amensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.

·         Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”. 

·         Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”. 

·         Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah.  Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang.  ‘Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.

·         Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra dan Zaid bin Tsabit.  Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!"  'Umar berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu". 

·         Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa ia  berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan".

·         Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, dimana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ", sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi.  Rasulullah saw membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy.  Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi.   Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi.   Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya.  

Perhatikan riwayat berikut ini:

·         Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya.  Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut.  Kemudian ayat tersebut ditulis.

·         Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”.  Perawi berkata, "Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".

Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw.

·         Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya.  Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).  Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah.  Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..".  'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?"  Hafshah menjawab, "Tidak!".  'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."

Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad.  Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah.  Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi.  Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra akan menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

 

3.    Argumentasi ‘Aqliyyah 

Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut.  Sebab, peristiwa tersebut menyakinkan dari sisi anda.  Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu.   Peristiwa tersebut hanya menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung.   Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita yang anda sampaikan itu  benar-benar menyakinkan atau tidak.   

Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang menyakinkan.  Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, menyakinkan dan pasti.   Sebab Rasulullah saw bersabda, “

"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah".[38]

Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy.  Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” menyakinkan dari sisi qadliy -- meskipun, kesaksian itu menyakinkan dari sisi saksi.  Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:

"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka"[39].

Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya.  Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy.  Buktinya, Rasulullah saw menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah.   Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.  

Bahkan, Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan  oleh seorang saksi. 

Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.

Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan.  Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah menyakinkan.  Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu.

Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan menyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak menyakinkan. 

Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka. 

 

PERSEPSI SALAH YANG HARUS DILURUSKAN

Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja

Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?

Untuk menjawab pertanyaan ini,  perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan berita),  khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).

 Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti.   Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.”    Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy) khabar dari Rasulullah saw, atau tidak pasti?    Bila berita itu bisa dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah qath’iy berasal dari Rasulullah saw.    Contoh lain adalah al-Quran al-Karim.  Apakah al-Quran yang dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw, ataukah tidak pasti?  Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah saw.   Inilah yang disebut dengan itsbat.’

Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang.  Khabar bisa meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’.   Pada hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer”.   

Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy di dalam majelis peradilan.   Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu.  Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian.  Misalnya, kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang.  Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak.   Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja.  Untuk masalah mu’amalah disyaratkan dua orang saksi.  

Ini berbeda dengan masalah tabligh.  Tabligh tidak disyaratkan jumlah tertentu.  Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam, baik menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.  

Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain.   Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas.  Kemudian anda menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut.   Aktivitas menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar.   Misalnya, Ali ra menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman.  Apa yang dilakukan oleh ‘Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar. 

Tabligh berbeda dengan istbat khabar.  Tablig adalah menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian).  Tabligh akan terjadi hingga akhir masa.   Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in).  

Memang benar, Rasulullah saw telah mengutus seorang shahabat atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja.  Rasulullah saw juga pernah mengutus ‘Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok masyarakat.    Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak. 

Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam masalah tabligh.   Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum.  Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.  Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.   Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. 

Dalilnya adalah sebagai berikut;

Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan.  Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu.   Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu.  Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat.   Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh.  Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum.  Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran.  Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.  

Dalilnya adalah, para shahabat ra terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima.   Shahabat ‘Umar ra pernah menolak tabligh khabar dari Hafshah ra.   Demikian juga para shahabat yang lain.  

Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini.   Sebagian ‘ulama hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits yang shahih.  Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan oleh ‘ulama yang lain. 

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain.  Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya”    Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya.  Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya.  Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.”  ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”    

Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit.  Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut?  Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.”    Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya.  Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini.  Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka.  Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya  juga tsiqat (terpercaya).  Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”    

Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.

Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [ telah dibuktikan bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya.  Atau apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli Hadits lainnya?  Alasannya, karena ia telah menolak tabligh khabar ahad dari perawi-perawi yang lain.   Apakah anda berani mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad! 

Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung kepada kekafiran.  Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qath’iy], misalnya al-Quran, dan Kenabian Mohammad saw, serta hadits-hadits mutawatir,  bisa menjatuhkan seseorang dalam  kekafiran!!   Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam tanpa ada khilaf.   Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan (berdasarkan proses itsbat (penetapan)) sebagai berita yang menyakinkan (qath’iy) berasal dari Rasulullah saw, maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran.   Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat.   Berita ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).  

Sedangkan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah itu adalah masalah lain.   Karena ‘aqidah harus didasarkan kepada sesuatu yang menyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus qath’iy dan menyakinkan.   Bila ‘aqidah harus menyakinkan dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang bersifat menyakinkan.   Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.

 

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf

            Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima akal sehat.  Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah.  Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf.   Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?

            Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi.  Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat.  Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf, dan hukum yang digali salaf, sedangkan yang lain tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena tidak dikatakan ulama salaf--, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali oleh Imam Syafi’iy.  Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh pertyama kali, melalui bukunya al-Risalah?  Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu.  Bahkan beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in.  Apakah anda akan mengatyakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama salaf?  Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan Muslim?.  Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ?   Apakah anda menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?

            Oleh karena itu, pertanyaannya bukan apakah telah dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak.  Yang terpenting adalah apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas?  Tidak perlu kita nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut.   Pendapat shahabat saja bukan dalil bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah.   Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak.  Sebab, ulama salaf tidaklah ma’shum.  

            Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan hingga akhir jaman.   Padahal, ada peristiwa-peristiwa maupun kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf.  Namun, kita tetap harus menggali hukum berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih. 

 

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad

            Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh. 

            Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan hujjah dalam perkara syari’at (amal).  Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya.   Sebab, iman mensyaratkan harus diyakini seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran.  Sedangkan hadits ahad masih mengandung syubhat dan kesamaran.  Walhasil, jika iman mengharuskan adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad.  

            Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya?  Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman?  Padahal, bukankah kita diperintah untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?

            Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita.  Kita tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman.  Namun, masalah ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah.  Dalam masalah amal (perbuatan) Allah swt dan juga rasulNya tidak mensyaratkan harus dibangun berdasarkan dalil yang menyakinkan.   Untuk perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan (dilalahnya dan tsubutnya (hadits ahad).  Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan.   Ini menunjukkan, tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad.   Namun, Allah melarang kita untuk menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah. 

            Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.  

            Perhatikan juga contoh berikut ini.  Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci.   Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki.  Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya.   Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”.  Walhasil, seseorang tidak batal wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya.  Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalahnya dzanniy.  Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar kepada prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan keimanan. 

            Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan.   Yang benar adalah, kami menyakini bahwa, tatkala kami mengerjakan perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan Allah.  Sebab, Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil yang membangun perbuatan  harus dalil yang menghasilkan keyakinan.  

Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:

"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka"[40].

            Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan.  Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan.   Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah.  Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan).  Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan.  Padahal, penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal.  Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy. 

Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak menyakinkan?  Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?  

            Walhasil, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad.  Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil.  Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah.   Sedangkan dalam perkara hukum hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah. 

Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang jelas dan gamblang.   Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.  Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti.  Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri.  Semoga Allah menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu. 

Wahai kaum muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini.  Sebab, ‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita.  ‘Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan menyakinkan.  

Di sisi yang lain, menegakkan syari’at Allah dengan tertegaknya Khilafah Islamiyyah merupakan refleksi tauhid uluhiyyah yang paling tinggi.  Mengabaikan perkara ini akan menjatuhkan siapapun ke lembah dosa dan kehinaan.   Mengapa kita tidak segera terhimpun dan bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar syari’at Allah bisa diterapkan secara kaamil dan syamil; dan agar tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori?  Mengapa kita tidak menyibukkan diri untuk urusan ini?  Sementara itu kita malah asyik masyuk dengan masalah ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan pernah selesai?  


SIKSA KUBUR   

 

            Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari kiamat.  Misalnya firman Allah swt, artinya,

            "Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.  Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak." (Ibrahim:42). 

            "Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)." (al-Ruum:55)

            "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar  dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.  Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?  Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52).

            Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari kiamat.    Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.  

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu dengan yang lain.   Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang bertentangan tersebut?

Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan.  Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari pertentangan.  Allah swt telah berfirman, artinya:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran?  Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82]

            Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur.  Namun demikian, ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath'iy.   Kami akan mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,

            "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)

            "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27)

            "Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),"Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-Anfaal:50)

            Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka.  Ayat seperti itu juga disebutkan dalam surat Mohammad, "Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? (Mohammad:27).  Juga dalam surat al-An'am, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu  orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata, "Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93). 

Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya menunjukkan adanya siksa menjelang kematian.   Karena dilalahnya tidak qath’iy, ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur.  Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy)[41].

 

Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27  dan Jalan Komprominya

            Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat Makkiyah.  Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah. Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya Ibrahim.  Disebutkan dalam shahih Bukhari, "Dari 'Amrah binti 'Abd al-Rahman dari 'Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada 'Aisyah.  Kemudian 'Aisyah bertanya kepada mereka, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?  Kemudian 'Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah manusia akan disiksa di dalam kuburnya?  Rasulullah saw menjawab, "Berlindunglah kepada Allah dari hal itu!" (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431). 

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa'id bin 'Amru bin Sa'id al-Amwiy dari 'Aisyah ra, "Orang-orang Yahudi ingin melayani  'Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan  apapun dari 'Aisyah, kecuali mereka bertanya kepada 'Aisyah, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?"  'Aisyah  berkata, "Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa?  Rasul menjawab, "Dustalah orang Yahudi!"  Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat.  Kemudian beliau diam.  Setelah itu  atas kehendak Allah tetap diam.  Kemudian pada suatu hari, yaitu  ketika tengah hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, "Wahai manusia mohonlah kepada Allah dari siksa kubur.  Sesungguhnya siksa kubur adalah haq". 

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari 'Urwah dari 'Aisyah ra berkata, "Seorang wanita Yahudi mendatangiku ('Aisyah) dan bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur?  Kemudian Aisyah datang kepada Rasulullah saw dan berkata, "Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di dalam kubur), kemudian 'Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah diam selama satu malam.kemudian berkata. "Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?"  'Aisyah berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur."

            Allah swt berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27).  Ini  adalah surat Makiyyah yang mengisyaratkan adanya siksa kubur. 

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Bukhari berkata, hadatsana....dari Bara' bin 'Aazib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Mohammad Utusan Allah.”  Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27).  Imam Muslim juga meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. “  Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur.    Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut --Ibrahim ayat 27.

Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46) 

Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.”  Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat Makiyyah". 

Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46.   Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau?  Ayat itu tidak mungkin berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum mengetahui tentang adanya siksa kubur.  Beliau mengetahui siksa kubur setelah berada di Medinah.    Lalu, bagaimana jalan komprominya?  Para ‘ulama berusaha memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan.

            Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.", menunjukkan,  bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi dan petang di alam barzakh.   Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”.  Kemudian beliau menyambung, "Ada yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum muslimin atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.”

            Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut, "Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah.  Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan mafhum (kontekstual).  Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam golongan orang-orang kafir.     Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur atas orang-orang yang mentauhidkan Allah.  Selanjutnya, Rasulullah saw  mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin.   Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya.  Maka selesailah ta'arudl (pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”.  Inilah pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183]

            Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam barzakh.  Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di dalam kubur.  Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad.  Beliau menambahkan, ayat ini tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh. 

            Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya.  Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur.  Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa mengenai kaum mukmin.  Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir.   Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin.  Setelah di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur. 

            Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah agama-- tanpa ilmu pengetahuan.  Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya, dan berkali-kali melakukan kesalahan?"

            Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih mengerti urusan kalian." Persoalan adanya siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam.  Masalah ini juga berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib, kecuali ada keterangan dari Allah swt.  Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt.   Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk dikompromikan ”.  Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits 'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya).     Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya.

            Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath'iy,  baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad.  Ibnu Hajar berkata," Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh dan jasad.  Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin.  Masalah ini seakan-akan telah ditinggalkan.  Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath'iy (pasti).  Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti,  yang  mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad).  Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa diambil dalam masalah ini.  Dan cukuplah dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali 'adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah semisal, Dlarar bin 'Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur". [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180].  Ibnu Hajar  menyambung, "Ibnu Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad.  Jumhur 'ulama menolak pendapat ini dan berkata, "..terjadi pada ruh dan jasad."  Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka. "[hal.182].

            Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath'iy).  Ayat ini memberikan arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat.  Namun ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu hanya akan terjadi pada hari kiamat.   Nash-nash seperti ini cukup banyak.  Allah swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.  Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas." (18:99-100). 

 

Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya

Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)

Sebagian orang berpendapat bahwa kata "yaum taquumu al-saa’ah” (hari kiamat) yang disambungkan pada kata "ghadwan wa ghasyiyyan" (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada dua keadaan yang berbeda.    Mereka menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada “pagi dan petang”  itu terjadi sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari kiamat.  Dengan penjelasan semacam ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa kubur.  Pendapat ini tidak tepat.   Sebab 'athaf tidak selalu menunjukkan dua keadaan yang berbeda (terpisah).  Misalnya, Allah swt berfirman, "Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (al-Zukhruf:84).  Seandainya wawu 'athaf selalu menetapkan bahwa ma'thuf  (yang disambung) berbeda (terpisah) sama sekali dengan ma'thuf 'alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut (al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah) dengan ilah di bumi.  Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia.

            Walhasil, firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat   Pada saat itulah, awal  terjadinya 'adzab (siksa).  Selanjutnya, mereka dimasukkan ke dalam siksa yang sangat pedih.

            Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak.  Ibnu Hajar menyatakan, "Ada hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini),  sebagian diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa'id menurut Ibnu Mardawaih, dari 'Umar, 'Abd al-Rahman bin Hasanah, dan 'Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas'ud menurut al-Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma' bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka." [Fath al-Baariy; juz.III, hal.186]

            Sebagian 'ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai derajat mutawatir.  Seandainya tidak ada nash-nash yang saling bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa kubur mutawatir.  Akan tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga menurunkan derajat kemutawatirannya.  Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan.  Kemutawatiran sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling bertentangan.  Imam Al-Amidy berkata, "Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat menghasilkan 'ilmu (kepastian).  Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, , jika kurang dari lima orang, misalnya, empat  orang saksi yang bersaksi dalam masalah syari'ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat orang yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy.  Seandainya 'ilmu (kepastian) dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada kesepakatan dalam hal yang dzanniy)?  Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa  empat  adalah jumlah yang kurang.  Beliau juga masih meragukan lima orang.  Sebagian 'ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang menyatakan paling sedikit 20.  Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313.  Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. "[al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39]  Beliau menambahkan, "Di samping jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan para pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu."  Kemudian beliau menyatakan lagi, "Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang tidak menghasilkan ilmu  tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab,  dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan).  Ini adalah syarat-syarat yang telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita."

            Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad, dll dari 'Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh  sebelum hari kiamat.  Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa siksa kubur adalah haq (benar).  Hadits ini pun, maudlu'nya masih mengandung perselisihan.

 

Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari Kiamat

            Al-Quran telah menyatakan,"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.  Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak." (14:42).  Ayat ini ma'udlu'nya juga masih mengandung perselisihan.  Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari kiamat.  Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah hari kiamat.  Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah,

"Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan.  Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (al-Nahl:61).

            "Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya." [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu yang ditentukan) adalah hari kiamat.

            Secara qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga hari kiamat.  Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath'iy.  Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut.  Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat; dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir.  Mengkhususkan pengertian yang ada di dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati.  Walhasil, seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara tentang penangguhan siksa-- tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits tentang siksa kubur.  Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas”.     Akan tetapi,  harus dibawa kepada takhsiish al-quran bi al-Sunnah.

 

Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52

            Allah swt, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.  Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?  Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52).  Mau'dlu' ayat ini pun masih mengandung keraguan.  Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur.  Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur, atau dalam kondisi terkena siksa.  Walhasil, ayat ini telah menafikan adanya siksa di dalam kubur.  Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur --dengan jalan mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya-- adalah perkara yang sangat sulit.   Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya. 

Sebagian shahabat dan tabi'in berdiam diri  terhadap ayat ini dan hadits-hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ubay bin Ka'ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, "Mereka tidur  sebelum hari kiamat." Qatadah berkata, "Hal itu itu terjadi diantara  dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami."  Kompromi semacam ini dianggap sebagai jalan keluar. 

Walhasil, pendapat yang menyatakan, " Pertentangan antara ayat ini dengan hadits-hadits tentang  siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat.  Argumen semacam ini tidak bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat ini. 

 

Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55

            Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari akhir, adalah surat al-Ruum:55.  Al-Quran telah menyatakan, "Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja." (al-Ruum:55).  Namun, maudlu' ayat ini juga mengandung keraguan.  Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu – seperti yang telah disampaikan oleh para pendosa itu?  Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka maksud adalah tinggal di dalam kubur.  Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka[42] maksud adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka tidur diantara dua tiupan;  antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah).  Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar. 

            Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari kebangkitan.  Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan.  Jika mereka menafsirkan seperti itu,  ia justru akan membawa ke arah pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang.[43]   Pendapat semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak) atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian tersebut.

            Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit.   Akan tetapi, qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di dunia.  Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya.  Allah berfirman, "Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir):"Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu tidak menyakininya." (30:56).  

Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli 'ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat,  bukan berdiam di kehidupan dunia.  Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran yang salah.

            Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat.  Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa dikompromikan.  Sebab, ia  tidak didasarkan pada nash-nash syara'. 

Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat singkat --sesaat di dalam tidurnya saja.

            Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih.  Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayat-ayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi.   Seorang muslim tidak boleh mengingkari hadits-hadits tersebut.  Mengingkari hadits-hadits itu sama artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan dosa.  Sebab, mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersia-sianya amal.

            Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits  siksa kubur adalah dzanniy.   Keimanan seorang muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy.  Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang bersifat pasti.   Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan.

                Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy.    Seandainya hadits-hadits tentang siksa kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada keraguan sedikitpun.   Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq



[1]   Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971  M, hal.444.  Bila dikatakan I’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia telah bersandar kepada perkara tersebut).  Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, bab ‘aqada.

[2]   Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.

[3]   Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743

[4]   Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113

[5]   Al-Quran, Yusuf:17.

[6]   Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327

[7]   Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang digunakan dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan, bahwa kata dzann adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406.  Kata dzan kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 20]. 

[8]   Asaas al-Balaaghah, hal. 303

[9]   Imam al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43

[10] Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40

[11] Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49

[12] Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112

[13] Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743

[14] ibid, bab amana, hal. 26

[15] Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22

[16] Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama ushul, semisal al-mashlahat al-mursalah, istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll.  Dalil adalah  Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Syubhat dalil kadang juga digunakan untuk menyebut suatu pendapat yang lemah. 

[17] Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasinu Ta’wil, juz 17 hal.304-305

[18] Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294

[19] Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.

[20]   Ibid,  hal. 63

[21]  Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .

[22] Ibid, hal.61-62

[23]  Haafidz Tsanaa al-Allah al-Zaahidiy ,Taujiih al-Qaariy ila al-Qawaa’id wa al-Fawaaid al-Ushuuliyah wa al-Hadiitsiiyyah wa al-Isnaadiyyah fi Fath al-Baariy, Daar al-Fikr, hal. 156.  Penjelasan panjang lebar mengenai masalah ini dapat dirujuk ke dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy, Juz I, hal.217-dan seterusnya]

[24] Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48.  Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].

[25] Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63

[26] Ibid. hal. 63

[27] Ibid.hal.63

[28] Ibid, hal.64

[29] Ibid. hal.64

[30] Ibid.hal.64

[31] Ibid, hal.64

[32] Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20

[33] Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.

[34] Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.

[35] Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.

[36] Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.

[37] al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79

[38] Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit

[39] HR. Mutafaq ‘Alaih

[40] HR. Muttafaq ‘Alaih

[41] Prof Mahmud Syaltut, Islaam, ‘Aqidah wa Syarii’ah, hal.61-63

[42] Mereka di sini adalah orang-orang berdosa  yang bersumpah ketika hari kiamat bahwa mereka tidaklah berdiam diri di dalam kubur, melainkan sesaat saja. Lihat dalam surat al-Ruum;55.

[43]  Sebab, pada ayat 55 surat al-Ruum, para pendosa bersumpah bahwa mereka tidak tinggal di kuburnya kecuali sesaat saja (pendek waktunya).  Jika mereka di siksa di kuburnya dengan siksa yang pedih, maka seharusnya mereka akan merasakan waktu yang demikian lama di kuburnya, karena mereka begitu menderita dalam kuburnya.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah